sumber ilustrasi: https://4.bp.blogspot.com

Oleh: Sholikhul Aziz

Penolakan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materi pasal 284, 285 dan 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan kesusilaan menuai banyak pro kontra dari berbagai elemen masyarakat. Banyak yang menilai putusan tersebut mengandung unsur pembelaan terhadap pelaku LGBT bahkan sebagian ada yang mengira bahwa putusan tersebut telah melegalkan LGBT di Indonesia.

LGBT merupakan akronim dari (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman “budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”[i]

Di Indonesia sendiri LGBT menjadi tren yang begitu marak setelah disahkannya hubungan sesama jenis di negara-negara maju. Menurut catatan Kementerian Kesehatan pada 2012 lalu menyebutkan bahwa ada 1.095.970 gay yang tersebar di seluruh Indonesia (Bintang.com, Jakarta). Ya, memang bukanlah jumlah yang sedikit, bahkan seorang aktivis hak-hak LGBT Dede Oetomo pada salah satu media online nasional sempat menjelaskan bahwa setidaknya tiga persen penduduk Indonesia adalah kaum LGBT.[ii]

Terluput dari fenomena tersebut atau kontroversi tekait diterima tidaknya LGBT di masyarakat, tulisan ini mencoba fokus pada analisa hukum dan gejala sosial pasca putusan MK tentang uji materi KUHP tentang kejahatan kesusilaan dalam hal ini yakni nomor 46/PUU-XIV/2016.

Memahami konsep moral sebagai alasan uji materi

Opinio necessitatis begitulah ungkapan dalam bahasa latin yang berarti bahwa keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan. Prinsip inilah yang kemudian menjadi salah satu asas umum peradilam Mahkamah konstistusi yakni asas hakim untuk mendengar secara seimbang, bahwa setiap individu berhak didengar pendapatnya di pengadilan oleh hakim.

Dalam putusan 46/PUU-XIV/2016 bab III ayat 1 telah disebutkan bahwa alasan paling mendasar pemohon untuk melakukan pengujian adalah alasan ketahanan keluarga dan perlindungan terhadap nilai-nilai keagamaan.[iii] Dua alasan ini dinilai sudah mencupi dalam pengajuan gugatan dikarenakan nilai-nilai moral dan etika yang terkandung didalamnya sangat penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada asalnya hukum dan moral (kesusilaan) adalah dua hal yang sangat berbeda, sebagian besar hukum didominasi oleh peraturan-peraturan yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat, sedangkan moral menurut Hurlock (1990) adalah sopan santun, kebiasaan, adat istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya[iv].

Sering kali pemahaman tentang moral dan hukum selalu dicampur-adukkan, memang sangat sulit menempatkan hukum disatu sisi dan moral disisi lain adalah hal yang sangat tidak mungkin, akan tetapi perlu diingat bahwa salah satu fungsi hukum adalah sebagai institusi sosial yang berdiri diatas masyarakat. Disini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan stabilitas dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan.

Pasal 284 adalah pasal yang mengatur tentang perbuatan zina dalam bahasa hukumnya gendak, namun pada pasal ini yang dicantumkan hanyalah pelaku yang sudah diketahui statusnya telah kawin, padahal dalam moral masyarakat Indonesia zina bukan Cuma tertuju pada pasangan yang telah kawin. Oleh karena itu pemohon mengajukan untuk dihapusnya kata kawin dalam pasal tersebut. Pun begitu juga pada pasal 285 dan 292 sama mengandung cakupan nilai moralitas yang tinggi, ini menunjukkan bahwa hukum memandang moralitas sebagai penuntun dan aspirasi bagi pembentukan hukum itu sendiri.

Membaca arah putusan MK

Perlu dipahami bahwa dalam putusan MK 46/PUU-XIV/2016 tidak ada unsur yang melegalkan LGBT, penolakan lima hakim MK terhadap perkara tersebut dikarenakan permintaan yang diajukan sudah melampaui batas kewenangan dari mahkamah konstitusi itu sendiri.

Pada pasal 24c telah dijelaskan bahwa kewenangan MK salah satunya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (bersifat final) untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (judicial review)[v] sedangkan gugatan yang diajukan sudah memasuki wilayah pembentukan undang-undang dalam hal ini yang berwenang adalah Dewan Perwakilan Rakyat.

Dapat dilihat dari gugatan pada pasal 284 dimana pemohon meminta MK untuk menghapuskan kalimat sudah kawin dengan alasan perbuatan zina bukan hanya sebatas pada ikatan perkawinan saja, sebelum kawinpun juga masuk dalam kategori tersebut. Penghapusan ini berarti adalah membuat undang-undang baru yakni larangan bagi laki-laki dan perempuan untuk berbuat zina sebelum menikah.

Pada gugatan pasal 285 juga terdapat unsur untuk membuat suatu aturan baru yakni permintaan agar perempuan yang melakukan ancaman kekerasan untuk bersetubuh juga dikenai sangsi pemidananaan. Sedangkan pada pasal 292 pemohon meminta agar MK menghapuskan kalimat tidak dewasa karena perbuatan homosexsual dan perbuatan sejenis tidak harus terikat sifat dewasa.

Ada yang menarik dari gugatan pada pasal 292, disini pemohon menggugat agar dihapukan kata belum dewasa pada korban dengan dalih semacam itu, padahal undang-undang tersebut dimaksudkan untuk melindungi anak dibawah umur dari kejahatan kesusilaan. Selain itu orang dewasa telah dikenai unsur dolus yakni dianggap tau dan unsur culpa yakni dapat menduga bahwa perbuatan itu melanggar norma.

PAF Lamintang dalam bukunya Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan (2011) menyebutkan bahwa perumusan Pasal 292 KUHP mempunyai unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa. Artinya orang dewasa tahu (unsur dolus) atau sepatutnya ia dapat menduga (unsur culpa). Lamintang menegaskan unsur subjektif itu membawa konsekuensi pengadilan harus dapat membuktikan adanya pengetahuan pelaku atau setidak-tidaknya dugaan pelaku bahwa pasangannya melakukan perbuatan cabul belum dewasa. Kalau tidak dapat dibuktikan tidak ada alasan bagi hakim menghukum pelaku.[vi]

Adapun keputusan MK tersebut adalah suatu tindakan kehati-hatian, dikarenakan MK selama ini hanya memiliki kewenangan yang bersifat negatif legislator yakni hanya sebatas membatalkan, menafsirkan undang-undang (mempersempit dan memperluas maknanya) serta menguji kesesuaian undang-undang dengan undang-undang dasar (UUD) bukan pada kewenangan untuk membuat dan merumuskan suatu undang-undang baru.

[i] Https://id.wikipedia.org/wiki/LGBT

[ii] Jurnal Sosial horizon 2016, Vol:3 no.2 hal.259

[iii] 46/PUU-XIV/2016

[iv] Pranoto Iskandar Memahami Hukum di Indonesia (2011) hal.19

[v][v] Jurnal Hukum dan Peradilan,2015 vol:4 no.1 hal.20

[vi] PAF Lamintang Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan (2011)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *