Relevansi Melalui Liberalisasi Aswaja

sumber ilustrasi : hotcopas.com

Oleh : ALI MASRURI
Aswaja atau Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah merupakan nama sebuah aliran yang dikenal oleh mayoritas umat muslim sebagai aliran yang menolak pola pikir liberal maupun radikal, yang sesungguhnya ajaran Aswaja tidak melarang pengikutnya untuk berpikir liberal dalam artian bebas ini menyelami pikiran tentang islam. Singkat kata dalam hal ini umat muslim masih banyak yang belum memahami tentang liberal dan radikal itu sendiri.
Dalam memahami agama Islam, khususnya khazanah keilmuannya yang bersumber dari al-Quran (tafsir al-Quran). Umat muslim dihadapkan pada dua jenis pendekatan yaitu tekstual dan kontekstual. Dari dua jenis pendekatan tafsir ini munculah dua jenis aliran pemikiran yakni liberal dan fundamental.
Liberal disebutkan dalam KBBI adalah berpandangan bebas, luas dan terbuka. Sedangkan fundamental yakni cara berfikir yang bersifat kolot dan reaksioner, yang selalu merasa perlu selalu berhaluan ajaran agama seperti yang tersurat di dalam kitab suci. Fundamentalis inilah yang sering memunculkan pemikiran radikal dan tidak terbuka.
Dalam kajian Islamic Studies, mengembangkan sebuah pengetahuan merupakan sebuah kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar lagi khususnya bagi kalangan terpelajar. Semua ini disebabkan oleh perkembangan teknologi dan perubahan sosio kultural masyarakat dan zaman. Akan tetapi pengembangan atau pembaharuan dalam ilmu ke-Islaman harus melalui berbagai pertimbangan yang sampai saat ini banyak orang, khususnya kaum fundamentalis dan sebagian penganut Aswaja terjebak dalam ketakutan untuk melakukan ijtihad demi menghasilkan khasanah ilmu keIslaman yang lebih relevan dengan perubahan zaman.
Ketakutan akan dicap sebagai liberalis yang cenderung dianggap salah oleh mayoritas umat muslim adalah penyebab utama terhentinya perkembangan ilmu pengetahuan, baik dalam hukum maupun pengetahuan secara umum. Oleh karenanya memahami Islam hanya secara tekstual saja mengebiri kontekstual.
Ajaran ahlussunnah sendiri tidak mengekang para pengikutnya untuk melakukan inovasi dalam memecahkan berbagai masalah yang baru muncul disebabkan oleh perubahan sosio kultural, asalkan tetap menggunakan pola pikir yang sistematis dan tidak mengingkari akidah agama.
Istihsan Sebagai Bentuk Pertama Liberalisme
Istihsan adalah perpindahan dari Qiyas Jaliy kepada Qiyas Khofiy. Sejarah mencatat pada saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah melakukan istihsan pada saat penaklukan Persia yang sekarang bernama Irak. Setelah berhasil menaklukan Persia beliau tidak membagi harta rampasan perang kepada para prajurit, seperti yang dilakukan Rasulullah dalam al-Quran yakni satu perlima untuk kas negara dan empat perlima dibagikan kepada para prajurit, melainkan semuanya dimasukan dalam kas negara dan mengganti dengan memberi gaji kepada seluruh prajurit.
Umar bin Khattab berlandaskan bahwa hal ini, tujuan dari pembagian harta rampasan kepada para prajurit adalah untuk mensejahterakan mereka, lalu ia mengganti pembagian harta rampasan dengan pemberian gaji.
Istihsan adalah salah satu dari metode pemahaman al-Quran dalam usul fiqih yang dipakai oleh ajaran ahlussunnah. Menurut Abu Hapsin berpikir liberal adalah pola pikir yang berani melepaskan diri dari teks seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab, akan tetapi harus menggunakan pola pikir yang sistematis (mantiq).
Najmu ad-Din at-Thufi, seorang ulama’ hanabilah dalam konteks ini mengeluarkan pendapat yang sangat berani karena berbeda dengan pendapat ulama’ pada umumnya, yakni idza ta’aradla baina an-nash wa al-mashlahah quddimat al-mashlahah; jika terjadi pertentangan antara nash dan kemaslahatan maka didahulukan kemaslahatan.
Dalam pemikiranya, ia menempatkan kemaslahatan pada posisi pertama dalam produk pengetahuannya baik hukum ataupun keilmuan yang lain. Hal ini bukan berarti seorang at-Thufi melenceng dan keluar dari al-Quran, akan tetapi pendekatan tafsir atau pemahamannya terhadap nash secara kontekstual sehingga ia lebih melihat tujuan dari teks tersebut dari pada murni teks itu sendiri.
Bukankah pola berpikir yang dilakukan oleh kedua tokoh diatas merupakan bentuk liberal dalam berijtihad, karena mereka membebaskan diri dari keterkekangan tekstual semata. Namun yang membedakan dengan pemikir liberal yang akhir-akhir ini sangat akrab di telinga umat muslim Indonesia adalah kapasitasnya.
Kalau kedua tokoh tersebut berpikir secara sistematiska logika, maka yang terjadi saat ini pada kaum liberalis adalah, mereka lebih kepada dorongan nafsu politik untuk kepentingan golongan secara pripadi, dan/atau pola pikir yang kurang, bahkan tidak sistematis karena kurangnya kapasitas dasar keilmuan sehingga yang timbul adalah kekeliruan dalam berlogika.
Sekali lagi Aswaja bukanlah ajaran yang mengurung pengikutnya dalam penjara tekstual. Melainkan ajaran moderat yang mengajarkan kritis terhadap permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat, dan mampu melakukan pembaharuan jika memang dibutuhkan sebuah pembaharuan dalam keilmuan seperti yang yang sudah dipraktikan oleh para ulama’ terdahulu dalam menyikapi kondisi sosio kultural yang terus berubah dan berkembang. (FA/AM)