Moh. Solek ; Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

Peserta Workshop foto bersama Narasumber pada Penutupan hari kedua Workshop Islamic Studies di Gedung M2 Kampus III UIN Walisongo Semarang (16/02/2017) (doc: Justisia)

JUSTISIA.COM. Saya pernah ketemu beliau di Lieden, ketika setiap kali ketemu, selalu menanyakan sudah menulis apa? Mungkin kalau di Indonesia dia yang jelas KH. Nasr Hamid Abu Zaid, ungkap Muhammad Solek, Kamis, (16/02/17). Saat mengawali pembicaraannya dalam pembahasan Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zaid bertempat gedung M.2 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo.

Lalu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walislongo tersebut melanjutkan penjelasannya , Menurut Nasr al-Quran itu bukan bersifat Kholik, tetap makhluk. Dalam pewahyuan itu ada beberapa pemahaman. Pertama, dari Allah ke Malaikat Jibril, Malaiakat Jibril hanya menyampaikan saja. tinggal menerima baik teks maupun maknanya adalah kalam Tuhan. Ini melekat pada sifat Tuhan atau sifat qodim al-Quran. Kedua, malaikat Jibril itu menyampaikan hanya maknanya saja, diucapka dalam bahasa Arab. Kalau ini, seakan-akan teks dari Allah, maknanya dari Jibril. Dalam hal ini Nabi seolah-olah hanya menerima saja.

Dampaknya dari perbedaan tersebut pemahaman dalam proses pewahyuan, ada yang memahami al-Quran qadim dan hadits. Sehingga berbeda pula memahami peran al-Quran itu sendiri. Jika al-Quran qadim maka seluruhnya kata per-kata diikuti. Ini menyebabkan orang cenderung mengambil apa adanya dari teks. Tanpa adanya teks itu diinterpretasikan. Maka akibatnya ini berlanjut siapa yang tidak mengikuti itu, orang kafir, jelas Dosen Hukum Pidana Islam tersebut.

Dia menjelaskan lebih lanjut, Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang yang tidak setuju bahwa al-Quran itu seluruhnya dari Allah. Maka Nasr dianggap kafir. Namun Nasr memahami tentang al-Quran untuk memahamkan manusia itu sendiri. Maka yang perlu ditafsirkan menurut Nasr adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan manusia, karena tujuan al-Quran adalah untuk manusia. Yang tiada lain al-Quran hadir bukanlah dalam ruang kosong, melainkan respon terhadap kehidupan manusia pada masanya.

Karena al-Quran itu untuk manusia, Nasr Hamid Abu Zaid, terkenal dalam Hermenuitik Humanis, tidak mungkin teks itu mendadak muncul. Tanpa adanya relaitas. Realitas ini dari budaya, sosial, politik. Penentunya adalah lingkungan, sosial budaya. Maka hal ini yang disebut istilah al-Quran mumtazu tsaqofi (prodak budaya) menurut Nasr. Merespon terhadap suatu budaya, tidak mungkin teks itu dalam ruang kosong, jelas Solek. (j/Jae)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *