Desakralisasi Masjid dan Tanggung Jawab Sosial

Tempat ibadah atau biasa disebut dengan rumah ibadah merupakan suatu tempat yang dijadikan oleh penganut umat agama atau keperceyaan tertentu untuk melakukan ritual penyembahan kepada yang diyakini. Dengan adanya rumah ibadah yang khusus diperuntukkan untuk sembahyang ini, tentu seseorang ketika dalam melakukan ritual keagamaan baik sendirian maupun bersama-sama dapat menjalankannya dengan tenang, tanpa ada gangguan. Pada akhirnya ia dapat memuaskan kebutuhan rohani pada dirinya.
Dalam konteks agama Islam, rumah ibadah dinamakan masjid (tempat bersujud) dan juga sering disebut dengan istilah musholla (tempat shalat) atau surau. Dalam bentuk bangunannya ini sangat beragam, hal ini tergantung dengan sosial-kultur yang berkembang di tempat tersebut. Keberagaman ini dicerminkan dengan adanya seperti Masjid Cheng Hoo yang ada di Purbalingga yang bentuk bangunan bagian atas mirip dengan Pagoda, sebut saja seperti bangunan Pagoda Avalokitesvara yang ada di Semarang. Dengan nuansa warna merah ala klentengnya umat Tionghoa.
Walaupun demikian, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan regulasi No. 8 tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Di mana dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Dari regulasi ini, dapat dinformasikan bahwa setiap agama memiliki bentuk rumah ibadah tertentu dan permanen. Tentunya peraturan tersebut dirasa membatasi untuk mengekspresikan seni yang diwujudkan melalui arsitektur rumah ibadah. Padahal banyak kita jumpai rumah ibadah agama satu menyerupai rumah ibadah agama lainnya. Termasuk bentuk bangunan masjid yang semakin maju mengikuti model arsitektur yang berkembang pada masa sekarang ini. Misalnya Masjid Cipari atau A-Syuro yang mirip bangunan gereja, salah satu masjid tertua di Garut Jawa Barat, Masjid Cheng Ho di Surabaya mirip bangunan Klenteng dan Masjid Menara Kudus yang bangunan menaranya berbentuk candi bercorak hindu majapahit.
Di samping itu, pertumbuhan jumlah masjid di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla. Mantan Wakil presiden Republik Indonesia ke-10 ini mengjelaskan bahwa dalam rentang waktu 20 tahun angka pertumbuhan masjid di tanah air meningkat sebesar 63 tahun. Pada tahun sekarang ini keseluruhan jumlah masjid yang ada di Indonesia sebanyak 290 ribu bangunan yang tersebar di penjuru nusantara. Jumlah yang demikian belum ditambahkan lagi dengan lebih dari 500 surau dan sejenisnya (Republika, 30/03/2013).
Tidak hanya itu saja, pertumbuhan yang demikian banyak ini juga diimbangi dengan fenomena kemegahan bentuk bangunan masjid. Hal ini bisa kita temukan masjid-masjid yang berada di tengah kota, bahkan di pedesaan pun tidak mau kalah untuk menunjukkan keanggunan masjid ini. Demi mewujudkan keindahan rumah ibadah umat Islam ini, tentu tidak sedikit dana yang digunakan untuk mendirikan masjid dengan arsitektur yang cantik.
Terwujudnya arsitektur masjid yang megah ini, satu sisi memang ditopang oleh doktrin yang berkembang di masyarakat muslim. Di mana doktrin tersebut secara eksplisit terdapat di dalam al-Quran dan hadits yang menganjurkan dan mengajak memakmurkan masjid. Ini menjadi kuat karena posisi keduanya merupakan sumber pedoman bagi umat Islam dalam menjalan segala aktifitasnya. Bagi umat Islam yang memakmurkan masjid-masjid Allah ia termasuk orang yang telah mendapatkan petunjuk oleh Allah (QS. Al-Taubah, 18). Bahkan Usman bin Affan telah meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda: Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya kelak di surga Allah akan membuatkan rumah untuknya. (Bukhari, t.t.: 97-98).
Doktrin agama ini lah yang menjadikan sebagian umat Islam yang memiliki harta lebih untuk memberikan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid yang ada di sekitar. Selain itu juga, dari pihak tamir masjid melakukan pembanguan ini dari pengumpulan dana yang diberikan oleh para jamaah di kotak amal jariyah yang ada di masjid. Tidak dipungkiri juga ada bantuan dari pihak-pihak yang lain.
Model bangun dan peningkatan jumlah masjid yang berkambang menjadi hal wajar terjadi pada masyarakat yang berkembang, mengingat itu merupakan salah satu untuk memenuhi kebutuhan umat muslim. Sebab sejarah telah mencatat, sejak masjid pertama kali didirikan hingga masa sekarang ini selalu mengalami perubahan dan gaya arsitek yang berbeda pula. Bahkan keberadaan model rumah itu juga dipengaruhi oleh agama yang sudah berkembang di Arab, sebelum Islam dilahirkan.
Rumah Ibadah Arab Pra Islam
Dalam literatur, masyarakat Arab pra Islam untuk menyebut rumah ibadah, mereka menggunakan istilah al-mabad (tempat ibadah), masjid (tempat sujud), baitullah (rumah Tuhan), kabah, dan yang lainnya. Namun dari beberapa istilah tersebut yang paling umum digunakan masyarakat Arab pra Islam adalah al-mabad yang secara bahasa bermakna tempat ibadah. Begitu juga masjid, namun menurut mereka masjid yang ini merupakan tempat yang digunakan untuk ibadah (kullu maudliin yutaabbadu fihi). Sebab orang beribadah pasti di dalamnya melakukan sujud dengan beragam tata cara sesuai dengan tuntunan agamanya masing-masing (Jawad Ali, t.t.: 400).
Sedangkan istilah baitullah yang merupakan penggabungan dua kata, yaitu bait artinya rumah dan Allah berarti Tuhan. Bagi masyarakat Arab pra Islam istilah ini digunakan untuk menunjukkan tempat ibadah juga. Penggunaan istilah baitullah ini didorong adanya keyakinan yang mengakar bagi masyarakat Arab pra Islam bahwa Tuhan bersemayam di dalam rumah tersebut (Jawad Ali, t.t.: 400). Istilah Kabah bagi orang jahiliyah digunakan untuk menyebut rumah ibadah yang berbentuk kubus. Pada masa itu, para pemuka penyembah berhala memilikinya. Pada perkembangannya, setelah Islam datang makna kabah dipersempit menjadi bangunan kubus yang berada di Makkah atau baitul haram (Jawad Ali, t.t.: 400).
Secara umum menurut Jawad Ali, rumah ibadah Arab pra Islam dikelompokkan menjadi dua. Pertama, rumah ibadah tidak permanen, model seperti ini dimiliki oleh masyarakat arabi (badui). Hal ini mereka lakukan sesuai dengan profesinya yang selalu berpindah-pindah (nomaden) untuk menggembala, mencari rumput dan air. Ketika mereka sudah menemukan tempat untuk bertempat tinggal, kemudian orang yang mengabdikan dirinya untuk merawat berhala (sadanah) segera mendirikan rumah ibadah dengan bentuk perkemahan, lalu berhala di letakkan di dalamnya. Karena di rumah yang berbentuk perkemahan diletakkan berhala, maka perkemahan dan tanahnya menjadi disucikan.
Kedua, rumah ibadah permanen dimiliki oleh masyarakat yang menetap rumahnya dan berprofesi sebagai pedagang. Baginya membangun rumah ibadah merupakan perbuatan baik guna mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak orang berlomba-lomba mengumpulkan harta benda untuk membangun rumah ibadah. Setelah jadi, rumah ibadah yang dibangun diberi nama Tuhan yang mereka sembah, ada juga yang diberi nama dengan orang yang membangunnya. Nama itu diukir di bagian rumah ibadah yang dapat dilihat orang banyak (Jawad Ali, t.t.: 198).
Menurut kepercayaan masyarakat jahiliyah secara umum bahwa membangun rumah ibadah di dataran tinggi lebih utama, yakni di pegunungan, khususnya pegunungan yang di dalamnya terdapat goa. Bagi mereka, ketika rumah ibadah itu berada di tempat yang tinggi ibadahnya lebih cepat diterima Tuhan dan doanya lebih cepat dikabulkan daripada di dataran rendah. Mengapa demikian, karena rumah ibadah yang berada di atas dekat dengan langit di mana Tuhan bersemayam, sehingga Tuhan lebih mendengar doa yang dipanjatkan orang yang berada di dataran tinggi (Jawad Ali, t.t.: 403).
Pada masa itu, tempat ibadah di dataran tinggi yang paling populer dan menjadi tujuan utama masyarakat jahiliyah untuk beribadah antara lain; goa Hira`, Abu Qubais dan Tsubair. Para pemuka Quraisy menjalankan laku asketis (zuhud), berfikir (tafakkur wa ta`ammul) dan beribadah. Dalam salah satu riwayat bahwa Muhammad sebelum diutus menjadi nabi, beliau sering mengunjungi tempat-tempat ibadah yang berada di gunung dan di goa. Di tempat itu Muhammad Saw. melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuka Quraisy, (Jawad Ali, t.t.: 404).
Ada riwayat yang menginformasikan bahwa Abu Thalib, paman Muhammad sering menyuruh orang untuk pergi ke gunung atau goa guna mengantarkan makanan kepada Muhammad yang sedang beribadah di tempat tersebut (Jawad Ali, t.t.: 404). Ibnu al-Kalbi menjelaskan bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad Saw. pernah menceritakan hubungannya dengan salah satu berhala ternama pada masa pra Islam, yakni berhala Uzza. Nabi Muhammad mengatakan; Laqad ahdaitu lil uzza syatan afra`, wa ana ala dini qaumi (Sungguh [pada saat itu] aku memberi hadiah kepada berhala Uzza berupa kambing putih, aku mengikuti agama kaumku).( Abu al-Mundzir Hisyam al-Kalbi, 2000: 11)
Pada masa sekarang ini, masjid-masjid di rawat oleh seseorang yang disebut tamir masjid. Hal ini juga sudah ada pada Arab pra Islam, rumah ibadah pra Islam memiliki orang-orang yang khusus merawat berhala dan rumahnya atau disebut dengan sadin. Pengabdi rumah ibadah memiliki status sosial yang tinggi, mereka mendapat bayaran. Sehingga jabatan ini tidak mudah untuk diberikan kepada sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu, yakni ahli waris yang dapat melanjutkan. (Jawad Ali, t.t.: 427).
Selain itu juga mereka memiliki rumah ibadah pribadi yang dibangun di dalam rumah. Berhala tersebut diletakkan di penyangga rumahm, seperti Abbas, paman Muhammad Saw. memiliki dua berhala yang diberi nama Asaf dan Nailah. Dua berhala itu diletakkan di penyangga rumahnya. Bagi kepercayaan mereka, berhala yang diletakkan di penyangga rumah selain dapat mendatangkan kebaikan, juga dapat menjaga rumah mereka. Adapun ketika mereka melakukan bepergian, maka berhala yang kecil dibawa dengan tujuan berhala tersebut menjaga keselamatan bagi yang membawanya (Jawad Ali, t.t.: 399).
Wujud perhormatan kepada yang diyakini, baik masyarakat Arab nomaden maupun yang menetap mereka memiliki pandangan sama terhadap rumah ibadah. Mereka sama-sama meyakini rumah ibadah dianggap sebagai tempat yang sakral (al-muqaddas) dan harus dimuliyakan, serta tidak boleh dikotori (Jawad Ali, t.t.: 403). Pandangan demikian seperti yang diutarakan oleh Joseph Chelhod tentang konsep tempat yang disakralkan. Menurut dia tempat yang disucikan adalah tanah kawasan yang lepas dari alam profan. Secara umum manusia dilarang memasukinya karena ruh yang samar telah menampakkan diri di dalamnya dan menjadikannya sebagai tempat tinggal, (Joseph Chelhod, 1996: 142). Dengan begitu tidak heran apabila mereka menyakin bahwa Tuhan telah turun dan bersemayam di dalam rumah ibadah. Pada pada akhirnya rumah ibadah tersebut disebut dengan istilah rumah Tuhan (baitullah). Sebenarnya penghormatan terhadap rumah ibadah tidak hanya berlaku pada rumah ibadah tertentu, melainkan mencakup semua tempat ibadah.
Peran Masjid dalam Lintasan Sejarah
Kesakralan yang dimiliki rumah ibadah juga bisa didapati di rumah ibadah umat Islam, yaitu masjid. Masjid sebagai tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah mendapatkan perhatian khusus. Sehingga tidak heran apabila banyak peraturan yang terdapat dalam agama Islam tentang masjid, ada anjuran untuk merawat masjid. Di antaranya perintah untuk membersihkan masjid dan memberi wewangian (Ibnu Hajar al-Atsqalani, 2006: 201). Selain itu juga, dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa dianjurkan untuk menyapu dan memungut potongan-potongan kain, sampah dan duri di masjid (Ibnu Hajar al Atsqalani, 2003: 220).
Dari sini, perlu diperhatikan bahwa sakralitas yang dimiliki oleh masjid apakh berujung pada pembatasan fungsi masjid atau sebaliknya. Dalam arti, fungsi masjid hanya terkhusus untuk melakukan ritual ibadah atau dapat berfungsi sebagai penopang tanggung sosial yang ada di sekitar masjid. hal ini menarik untuk dijadikan sebagi perhatian umat Islam. Mengingat dalam al-Quran menyebut masjid sebagai tempat pertemuan bagi orang-orang (QS. al-Baqarah: 125). Bahkan masjid ini merupakan rumah yang pertama kali dibangun untuk penduduk dan menjadi tempat yang aman bagi mereka (QS. Ali Imran: 96). Menarik kiranya apabila memperhatikan peran masjid selama ini dalam catatan sejarah.
Masjid Quba yang sekarang ini megah dengan arsitektur yang sangat indah merupakan masjid pertama kali yang dibangun Nabi Muhammad Saw. manakala hijrah ke Madinah. Dulunya masjid Quba ini hanyalah berupa bangunan kecil yang berlantaikan tanah dan beratapkan pelepah kurma. Namun dari sinilah lahir benih-benih peradaban baru umat manusia, terlebih umat Islam, (Philip K. Hitti, 2010: 321). Berdasarkan sejarah pembangunan masjid perdana ini, dalam buku Masyarakat Islam Pengantar Sosialogi dan Sosiografi, Sidi Gazalba menggambarkan bawah islam mengandung dua aspek, yakni agama dan kebudayaan. Pada fase Makkah merupakan periode penurunan asas agama. sedangakn fase Madinah adalah periode penurunan asas kebudayaan. Adapun masjid yang pertama kali dibangun berada di antara dua fase tersebut. Dari Gazalda berkesimpulan bahwa masjid tidak hanya sebagai pusat ibadah, akan tetapi juga sebagi pusat kebudayaan atau peradaban Islam (Sidi Gazalda, 1976: 150)
Keadaan yang demikian tidak hanya dipraktikkan oleh Rasulullah, tetapi juga para generasi penerusnya memerankan fungsi masjid sebagaimana tujuan keberadaanya. Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama, ketika dia memimpin pemerintahan, segala urusan termasuk urusan kenegaraan ia lakukan di serambi Masjid Nabi (Philip K. Hitti, 2010: 218). Bahkan pada literatur yang disebutkan, Abu Bakar menempatkan pusat administrasi negara di masjid. Selain itu, masjid juga sebagai tempat menerima tamu baik muslim maupun non muslim. Lebih lanjut lagi, masjid juga didijadikan sebagai pusat pertahanan dan keamanan. Serta sebagai tempat perencanaan strategis dan latihan perang dan juga para korban perang semuanya berpusat di masjid. Pada era Umar bin Khattab pun juga demikian, di mana dewan pertimbangan agung selalu melakukan rapat dan sidang di masjid, (John L. Esposito, 2001: 354).
Masjid merupakan salah satu bangunan yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi tengah kota Damaskus, berdiri megah istana Umayyah dan berdampingan berdiri tegak Masjid Agung Umayyah sekarang menjadi salah satu tempat ibadah termegah di dunia. Di masjid inilah, ketika ada pertemuan yang lebih formal, pertemuan tersebut diselenggarakan, (Philip K. Hitti, 2010: 270). Pada saat pemerintahan dinasti Umayyah dipegang oleh Umar, pemerintah memberikan fasilitas pendidikan kepada masyarakat untuk mempelajari al-Quran dan Hadis. Fasilitas dilakukan dengan cara mengirim para qurra ke berbagai tempat dan menginstruksikan agar semua masyarakat belajar kepada mereka di masjid setiap hari Jumat, (Philip K. Hitti, 2010: 317).
Masjid tidak hanya difungsi sebagai ibadah, pendidikan dan pemerintahan. Namun juga dijadikan sebagai markas militer. Pada tahun 367 atau 638, masjid pertama yang didirikan di daerah taklukan adalah masjid di Bashrah yang dibangun oleh Utbah bin Gazwan yang menjadikan kota itu sebagai markas pasukan pada musim dingin. Pada tahun selanjutnya, 638 atau 639 M, jenderal pasukan Islam, Sad ibn abi Waqqash membangun markas militer lainnya di Kufah dengan masjid sederhana sebagai pusatnya. Di dekat masjid itu dibangun kediaman gubernur (dar al-imarah), (Philip K. Hitti, 2010: 325).
Amr ibn al-Ash pernah membangun markas pesukan Islam di Fusthat (Kairo lama). Di sini Amr tidak lupa untuk mendirikan masjid masjid pertama- di Afrika. Masjid penting berikutnya adalah masjid Uqdah ibn Nafi yang di Kairawan. Masjid ini sama halnya masjid di Fusthat, yaitu sebagai markas militer. Uqdah membangun masjid di mana di sampingnya ada bangunan pemerintahan dan di sekelilingnya dibangun juga untuk hunian penduduk. Masjid itu pun mengalami renovasi dan pada saat itu menjadi salah satu masjid terbesar umat Islam, (Philip K. Hitti, 2010: 326). Dan evolusi masjid pada saat itu dipandang telah sempurna. Selain sebagai tempat shalat berjamaah, masjid juga berperan seperti sebuah ruang pertemuan besar, ruang forum politik dan juga ruang pendidikan, (Philip K. Hitti, 2010: 334).
Pada saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah juga melakukan hal yang serupa. Lembaga pendidikan formal (kuttah) merupakan bagian yang terpadu dengan masjid. Bahkan memfungsikan masjid sebagai sekolah (pendidikan non formal seperti halaqah). Al-Masduqi dalam catatannya ia menyatakan bahwa ketika ia mengunjungi kota Susa, ia menemukan halaqah atau lingkaran-lingkaran pendidikan di Palestina, Suriah, Mesir dan Faris. Ia juga menemukan sekelompok belajar yang berkumpul mengitari seorang guru (faqih) dan juga lingkaran para pembaca al-Quran dan karya sastra di masjid-masjid. Imam al-Syafii sendiri memiliki halaqah semacam itu di Masjid Amr di kota Fusthat. Ia mengajarkan berbagai materi setiap bagi. Ibn Hawqal juga menyebutkan adanya lingkaran belajar serupa di kota Sijistan. Materi-materi yang disampaikan tidak hanya keagamaan, tetapi juga linguitik dan puisi. Sehingga setiap muslim pun memiliki kebebasan untuk memilih materi yang disukai yang ada di masjid-masjid, (Philip K. Hitti, 2010: 519).
Ibnu Batutta, penjelajah Muslim terkemuka dari Maroko, dalam catatan perjalannya mengambarkan lebih dari 500 pelajar menghadiri halaqah di Masjid Agung Umayyah, Damaskus. Seorang ilmuan Geografer, Al-Muqaddasi juga menceritakan di Masjid Amr dekat Kairo, Mesir terdapat lebih dari 50 halaqah pada satu tempat. Sedangkan di masjid utama Kairo, tak kurang terdapat 120 halaqah. Masjid-masjid besar, biasanya tidak hanya memfasilitasi pengetahuan agama saja, namun pendidikan umum juga menjadi perhatian pada saat itu. Sehingga pada akhirnya, berawal dari aktivitas keilmuan di masjid ini bisa melahirkan sebuah pendidikan tinggi atau universitas.
Sejarah mencatat, hingga kini terdapat universitas terkemuka di dunia Islam yang lahir dan berasal dari aktivitas intelektual di masjid antara lain; Universitas al-Qayrawwan dan al-Zaituna di Tunisia, al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di kota Fez Maroko, dan Sankore di Timbuktu, (Republika, 4/11/2008).
Masjid dilengkapi dengan tempat penyimpanan buku -sekarang ini biasa disebut dengan perpustakaan- karenanya masjid-masjid pada saat itu memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya, (Philip K. Hitti, 2010: 520). Hal ini sangat dirasa penting fasilitas buku-buku di tempat pendidikan Masjid-masjid besar, biasanya tidak hanya memfasilitasi pengetahuan agama saja, namun pendidikan umum juga menjadi perhatian pada saat itu. Mengingat adanya literatur menjadi salah satu penunjang dalam keberhasilan pendidikan
Berdasarkan catatan sejarah, seakan semua kebutuhan manusia ada di masjid. Sehingga keberadaan masjid menjadi hal penting. Sebab dari masjid inilah sebagai ladangnya kebudayaan Islam yang berkembang sekarang ini. Dari sini, bibit-bibit intelektual muslim ditanam hingga akhirnya bermunculan tokoh-tokoh muslim. Walaupun begitu, fasilitas masjid harus mendukung, baik sarana maupun prasarana sebagai penunjang. Selain itu juga, memakmurkan masjid menjadi hal pokok. Apabila kemakmuran masjid telah berhasil dan membentuk pengelolaan pengembangan masjid yang baik maka, masjid pun dapat dimaksimalkan peranannya untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Masjid dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam memakmurkan masjid telah disinggung dalam al-Quran, dalam surah al-Taubah ayat 18 yang artinya: Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Berkaitan dengan ayat di atas Imam Bukhari berkomentar, bahwa ayat tersebut memiliki dua kemungkinan tentang makna memakmurkan masjid-masjid Allah. Satu sisi yang dimaksudkan adalah tempat-tempat sujud (sudah ada bangunannya) atau mungkin juga tempat-tempat yang disiapkan untuk mendirikan shalat (belum ada bangunannya). Atas dasar itu kemungkinan kedua inilah maka makna dari memakmurkan diartikan membangunnya, namun mungkin juga yang dimaksud adalah selalu menjadikan tempat tersebut untuk berdzikir kepada Allah (Ibnu Hajar al-Astqalani, 2003: 208)
Apabila memperhatikan keterangan yang ada di dalam Kitab Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan masjid pada zama Rasulullah Saw. dibangun dari batu bata sedangkan atapnya berasal dari pelepah kurma dan tiangnya adalah batang kurma. Pada masa Abu bakar tidak menambah sedikitpun, sementara Umar memberikan tambahan dan membangunnya sebagai halnya pada masa Rasulullah Saw, terbut dari batu bata dan pelepah kurma serta mengembalikan tiangnya terbuat dari kayu. Kemudian pada masa Utsman merenovasinya disertai perubahan yang sangat besar. Ia membangun temboknya dengan batu yang dilukis dan batu bata, serta menjadikan tiangnya dari batu bata yang dilukis dan memberikan atap dari saaj. (Ibnu Hajar al-Astqalani, 2003: 189). Sehingga dari ini, para generasi umat Islam melakukan renovasi, bahkan menjasi megah. Terlabih
Pada dasarnya membangun masjid menjadi megah itu sudah mulai dilakukan pada masa kekhalifahan. Ini seperti halnya seseorang yang membangun rumahnya sendiri dan menghiasinya dengan rapi maka kita akan merasa nyaman tinggal di rumah tersebut. Begitu juga ketika masjid dibangun dengan bagus dan bersih, tentu ini akan membuat para jamaah menjadi nyaman ketika melakukan ibadah shakat. Tanpa harus terganggu dengan keadaan yang tidak nyaman seperti bau tidak sedap, lantai yang kotor dan sebagainya. Selain itu juga agar masjid tidak diremehkan dengan keadaannya yang tidak terawat.
Walaupun demikian, kemegahan yang ada di dalam bangunan masjid tersebut harus juga mencerminkan kemakmuran yang ada di sekelilingnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat Anas, mereke bermegah-megahan dengannya (masjid) namun tidak memakmurkannya kecuali sedikit. Beliau mengatakan demikian karena dalam Musnad Abu Yala dan Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah melalui jalur Abu Qilabah bahwa Anas berkata aku mendengar Rasulullah bersabda: Akan datang pada umat suatu zaman, mereka saling berbangga dengan masjid-masjid kemudian mereka tidak memakmurkannya melainkan hanya sedikit.
Dari riwayat tersebut, dapat dipahami bahwa mewujudkan masjid dengan bangunan yang megah Nabi tidak melarang. Namun dengan catatan masjid tersebut harus dapat memberikan kemakmuran. Baik itu kemakmuran untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan sosial. Kebutuhan individu meliputi kebutuhan ruhaniah, berupa melakukan ritual dengan rasa tenang dan nyaman.. Sedangkan kebutuhan sosial antara lain kesejahteraan sosial di lingkungan masjid tersebut. Selain itu juga, kesadaran setiap individu untuk melakukan ritual ibadah di masjid sangat minim.
Dari dua kebutuhan tersebut, yang sering terabaikan adalah kebutuhan sosial. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fenomena di lingkungan sekitar masjid, masih banyak terdapat para pengemis yang membutuhkan bantuan untuk mencukupi keperluan hidupnya. Sehingga jiwa sosial yang dimiliki para jamaah pun menjadi dipertanyakan. Problematika yang demikian tidak lain disebabkan tidak adanya target-target yang terprogram di masjid tersebut. Sehingga fenomena kemegahan masjid tersebut hanya topeng belaka, yang digunakan untuk membalut ketidaksejahteraan sosial.
Dengan demikian, ini menjadi tugas utama bagi umat Islam selaku pemilik rumah ibadah masjid untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam menjalankan risalahnya. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan al-Quran, ia menyatakan bahwa sebenarnya masjid memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Di mana pada masa rasulullah masjid selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga dijadikan sebagai tempat konsultasi, pendidikan, santunan sosial, latihan ketrampilan militer, pengobatan, peradilan, menawan tahan dan tempat menerima tamu, (Quraish Shihab, 1996: 462). Tentu hal ini menjadi tantangan berat yang harus dipikirkan dan diaktualisasikan dalam rangka mengembalikan masjid sebagai sentral peradaban sehingga terwujud kesejahteraan sosial. karena kesejahteraan umum menjadi tanggung jawab bersama.
Artikel ini diambil dari Jurnal Justisia Edisi 41 Th. 2013
Penulis: M. Zainal mawahib, S.H.I., M.S.I (Pim. Red. Jurnal Justisia Th. 2013)