“Liga Indonesia Banyak Dagelannya Dibandingkan Profesionalitasnya”
Liga kita ini lebih banyak dagelannya dibandingkan sebagai kompetisi profesional

Pemimpin Redaksi Fandom.id, Sirajudin Hasbi (sumber: facebook)
Justisia.com– Gelaran Gojek-Traveloka Liga Indonesia musim 2016/2017 telah usai. 34 pertandingan telah dilalui oleh setiap klub. Semua kontestan berusaha maksimal menjadi juara hingga terhindar dari jurang degradasi. Suporter pun bersorak ria menyaksikan kembali klub kesayanganya merumput di stadion. Suka cita menyambut gelaran liga tahun ini.
Harapan itu seperti terhenti ditengah jalan, pentas sepakbola kasta tertinggi di Indonesia bernama Gojek Traveloka Liga Indonesia menyimpang segudang masalah. Kepemimpinan di PSSI dan operator liga, Liga Indonesia Baru, hanya “sampingan”. Komisi Disiplin pun belum berlaku objektif terhadap kontestan liga.
Kompetisi di dalam negeri berdampak pada regenerasi pemain di tim nasional dari usia 23 sampai senior. Adanya regulasi operator liga membatasi 2 pemain setiap klub untuk membela “Garuda Merah Putih”.
Mimpi bersama mendengarkan lagu Indonesia Raya diperhelatan ajang internasional tampaknya masih jauh. Pengelolaan persepakbolaan di Indonesia masih setengah hati untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand.
Redaksi justisia.com membincangkan permasalahan sepakbola nasional bersama Pemimpin Redaksi Fandom.id, Sirajudin Hasbi melalui surat elektornik, Rabu, (22/11)
Berikut petikan wawancaranya kepada redaksi justisia.com.
Bagaimana menurut Mas Hasbi terkait pengelolaan sepak bola kasta tertinggi di Indonesia ?
Masih perlu banyak perbaikan. Klise, tapi itu memang yang harus dilakukan. Persoalannya tidak berubah dari yang sudah berjalan tahun-tahun lalu. Aturannya sudah baik, idenya menarik untuk membuat sepakbola kita makin semarak. Tapi, ketidakkonsistenan operator dalam menjalankan aturan dan rencana yang mereka buat sendiri menjadi bumerang.
Paling lucu tentu saja soal Bhayangkara yang memperoleh tiga poin akibat Mitra Kukar yang dianggap memainkan pemain ilegal, padahal kemudian beredar tidak ada nota larangan bermain. Uniknya, komisi disiplin dan operator saling tuding siapa yang salah hingga akhirnya semua berkompromi. Persoalan Persib yang dianggap walk out saat lawan Persija hingga kini belum ada kejelasan juga. Sulit kalau operator dan federasi tidak menegakkan aturan yang mereka bikin sendiri.
Sudahkah lebih baik dari tahun sebelumnya ?
Jujur saja, tidak ada, alias sama buruknya dengan yang sudah-sudah, meski sempat ada asa perbaikan ketika liga hendak bergulir dengan gelontoran uang dari sponsor dalam jumlah yang amat besar.
Tapi, liga kita ini lebih banyak dagelannya dibandingkan sebagai kompetisi profesional. Semua sisi punya masalah, bahkan soal urusan hak siar saja menimbulkan berbagai polemik, terkait laga mana saja yang disiarkan, minimnya liputan untuk klub Indonesia Timur, dan lain sebagainya.
Tapi, sejak awal saya memang tidak terlalu banyak berharap, meskipun saya yakin bahwa liga dalam dua tahun (2017 dan 2018) adalah awalan untuk perbaikan demi liga yang ideal di tahun 2019, tapi semuanya buyar begitu saja. Tentunya operator yang keliru karena gagal menjalankan rencana dan target yang mereka buat sendiri.
Faktor-faktor apa saja yang menjadikan sepakbola professional kita stagnan ?
Ada banyak sekali. Ketidakterbukaan atau transparansi masih jadi isu yang perlu lekas diselesaikan. Ketika ada protes dari klub mengenai uang subsidi dan laporan dari operator, itu menunjukkan bahwa di ranah elit saja, sepakbola kita belum profesional. Jangankan kita sebagai penikmat atau orang yang jauh dari pengurus PSSI atau operator liga, klub saja tidak memperoleh laporan yang semestinya mereka peroleh.
Hal itu juga diperparah pula dengan silang sengkarut kepentingan di sepakbola kita. Tanpa mengurangi rasa hormat, Edy Rahmayadi yang berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara jadi membuat kita mereka-reka bahwa sepakbola belum jadi prioritas. Dengan nantinya semakin sibuk, sementara masih ada jabatan sebagai ketum PSSI dan Pangkostrad, sulit untuk tidak ada kepentingan yang saling tumpang tindih.
Juga Glen Sugita yang masih menjabat sebagai Komisaris Persib Bandung tapi mengemban amanat sebagai Direktur PT Liga Indonesia Baru. Sulit untuk tidak menduganya bahwa ada kepentingan yang dia mainkan
Itu baru dua contoh, ada yang lainnya, baik di tingkat federasi, operator, maupun di tingkat klub. Oleh karenanya, ke depan selain transparansi, rangkap jabatan yang saling memengaruhi kebijakan praktis dan strategis perlu untuk ditinjau kembali dan dibuatkan aturan yang mengikat.
Adakah imbasnya terhadap performa Timnas Indonesia ?
Belum berjalan dengan baik liga kita tentunya berimbas pada penampilan timnas. Piala AFF yang terakhir lalu ketika hanya boleh maksimal 2 pemain dari satu klub jelas saja memengaruhi kualitas timnas. Iya kita tetap bisa ke final tetapi ada rasa kurang puas ketika pelatih timnas dibatasi dalam menggunakan pemain dengan alasan liga masih berjalan.
Dalam sepakbola, itu dikenal segitiga pembinaan. Di tingkat paling bawah, pembinaan pemain muda. Lalu ada kompetisi, baik kompetisi usia dini, amatir, hingga profesional. Dari kompetisi itu, bakat-bakat terbaik ditempa dan yang terbaik akan menghiasi tim nasional.
Sayangnya di Indonesia itu belum berjalan dengan baik. Sekali lagi, belum baiknya pengelolaan kompetisi jelas memberi pengaruh langsung pada kualitas tim nasional kita. Contoh konkrtnya selain Piala AFF lalu tentu adalah federasi tidak memaksimalkan jeda internasional FIFA dengan maksimal karena kita seakan-akan punya jadwal sendiri, yang tidak menginduk pada organisasi sepakbola dunia tersebut.
Pameo dimasyarakat muncul “kita kan bonus demografi, masa mencari 23 pemain baik aja susah” ?
Maaf, saya kurang sepakat dengan pameo tersebut. Kalau bonus demografi itu benar adanya dan punya efek bagus, tentu kita akan melihat Cina dan India sebagai peraih Piala Dunia terbanyak, tapi mereka bukankah juga kesulitan untuk bisa masuk ke turnamen empat tahunan tersebut?
Semua tentang pengelolaan sepakbola yang baik. Dikelola dengan baik pun belum tentu sukses, apalagi jika dikelola dengan ala kadarnya seperti Indonesia.
Bisa memberikan masukan untuk pengelolaan liga kasta tertinggi untuk musim depan ?
Operator liga perlu lebih transparan. PSSI dan Komisi Disiplin perlu lebih tegas dalam mengawal jalannya liga agar semuanya berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Sederhana: jika semua bisa dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, setidaknya liga kita bisa berjalan dengan lebih baik.
Bagaimana tanggapan mas Hasbi terkait pembinaan pemain usia muda ?
Masih jauh dari yang diharapkan. Tapi football development yang dilakukan oleh PSSI rasanya mulai baik, salah satunya dengan bikin kurikulum sepakbola Indonesia (filosofi sepakbola Indonesia), ini penting untuk jadi acuan pelatihan pembinaan pemain muda di seluruh Indonesia.
Kebanyakan dihasilkan oleh kompetisi lembaga swasta ? PSSI justru absen Mas ?
Bisa disebutkan apa saja kompetisi yang diselenggarakan oleh lembaga swasta? Apakah benar lebih banyak dari yang dibuat oleh PSSI ? Hehe. Sebenarnya semua kompetisi usia dini melibatkan PSSI, hanya saja porsinya yang berbeda-beda. Dan perlu pula untuk dicek ke Asprov dan Askab/Askot terkait hal itu karena mereka yang lebih berwenang.
Apa imbasnya terhadap prestasi timnas junior ?
Belum maksimalnya pembinaan usia muda dan kompetisi yang berjenjang tentu berdampak pemain yang masuk ke timnas belum memiliki bekal yang cukup untuk kompetisi antarnegara. Tapi, sejauh ini junior kita harus diakui lebih bisa diharapkan dan punya prestasi dibanding yang senior.
Terus banyak anggapan masyarakat, kalau pemain muda yang memiliki skill di atas rata-rata pesepakbola Indonesia jangan main di liga dalam negeri. Bagaimana tanggapannya terkait hal seperti ini ?
Bagus itu. Liga kita belum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Selain banyak faktor non teknis, bermain di liga lokal itu begitu keras. Ada tendangan atau tekel yang semestinya tidak dilakukan tapi dilakukan oleh banyak pemain. Ini mengakibatkan pemain sangat rentan mengalami cedera.
Bermain di luar negeri punya dua keutamaan. Pertama, memberikan pengalaman berharga, di sini mental jadi terasah. Sulit untuk hidup di kultur yang berbeda, dengan begitu pemain akan ditempa baik di dalam maupun luar lapangan. Kedua, bermain di liga yang lebih baik dalam hal pengelolaan akan mendewasakan pemain kita untuk tidak melakukan hal yang tidak boleh tapi lumrah di liga kita, misalnya sengaja melakukan tekel untuk mencederai lawan, melawan wasit, dan lain sebagainya.
Semakin banyak pemain muda bagus yang bermain di liga luar negeri yang punya level lebih baik akan menempa mereka baik dari segi teknik maupun mental. Kalaupun tidak ke Eropa, bisalah ke Jepang, Thailand, atau setidaknya ke Malaysia.
Terkait suporter Indonesia. Sejauh mana suporter kita bisa dewasa (dalam artian patuh terhadap aturan) di dalam stadion ?
Polemiknya sebenarnya tidak sesederhana suporter mesti patuh aturan atau mereka yang akan terus dipersalahkan. Perilaku melanggar dari suporter bisa jadi adalah bagian dari akumulasi kekecewaan mereka kepada operator yang sewenang-wenang ketika menjalankan aturan. Juga dalam hal pemberian sanksi.
Untuk di dalam stadion, rasanya belakangan ini membaik, meski masih banyak celah untuk dipersalahkan, misalnya kasus petasan di stadion saat timnas bermain atau flare yang menyala saat pertandingan masih berlangsung di tingkat liga.
Tapi, yang masih sangat mengkhawatirkan justru yang ada di luar stadion. Banyak sekali kejadian bentrok yang membuat nyawa melayang sepanjang tahun 2017 ini. Itu PR yang tidak main-main dan sinergi semua pihak perlu. Kepolisian mesti bekerja lebih ekstra untuk membaca situasi dan meminimalkan kekisruhan di jalanan ketika suporter berangkat atau pulang dari mendampingi timnas.
Bagaimana sikap kritis kebanyakan suporter terhadap manajemen klub ?
Ini gejala yang baik, seperti di Bandung, Sleman, Surabaya, Jakarta, dan kota lainnya. Suporter tidak hanya bernyanyi, tidak hanya membeli tiket, tapi juga memberi kritik sebagai penyeimbang manajemen klub jika dinilai keluar jalur atau membuat kebijakan yang keliru bagi klubnya.
Terkahir, bagaimana harapannya terhadap persepakbolaan Indonesia kedepannya ?
Selalu ada kesempatan untuk berharap dan itu penting, sebagai manusia kita memang perlu memelihara harapan-harapan meski itu kecil. Untuk saya pribadi, bukan saya tidak ingin Piala Dunia atau setidaknya juara Piala AFF dan SEA Games, tapi harapan saat ini yang paling penting semua pihak sadar bahwa sepakbola kita perlu ditata ulang dengan sebenar-benarnya penataan. Prestasi akan datang seiring dengan benarnya kita mengelola sepakbola, di semua level pembinaan dan kompetisi. (Red: Lessen)