Impikasi Penyalahgunaan Tafsir terhadap Intoleransi
intoleransi dalam agama, berasal dari pemahaman bersifat fundamentalistik

sumber ilustrasi: liputan6.com

justisia.com Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ras, agama dan budaya. Kekayaan Indonesia ini yang menjadi warna tersendiri Indoneia dari negara-negara lainnya. Indonesia tercatat sebagai negara yang mewajibkan warga negaranya untuk beragama.
Akhir-akhir ini nilai-nilai sosial berwarga negara sedang dalam masa yang kurang kondusif. Penyebabnya adalah, menculnya isu-isu atas berbedaan tafsir dalam memahami agama itu sendiri. Hal ini tentu di karenakan adanya oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan isu keberagaman untuk sebuah kepentingan.
Hal ini karena penyalahgunaan pemahaman terhadap tafsir keberagaman, yang semestinya dimanfaatkan untuk menyemai rasa persaudaraan di antara manusia tanpa membeda-bedakan.
Isu-isu mendapat komentar dan tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya oleh Rois Syuriah PBNU, KH. Masdar Farid Masudi. Berikut wawancara dengan KH. Masdar Farid Masudi usai acara Halaqah Kebangsaan di Audit II UIN Walisongo pada Jumat, (12/5).
Bagaimana Bapak menanggapi isu radikalisme yang mampu mengancam bangsa ini?
Radikalisme bisa disebut sebagai ancaman karena ia dipersempit pemahamannya akan sesuatu dan hanya menganggap tafsir dirinya sendiri yang benar. Orang sesama Islam namun memiliki beda pemahaman dalam tafsir seringkali dianggap sesat, atau sejenisnya. Sehingga sikap yang demikian akan membuat friksi di dalam umat Islam sendiri.
Tafsir di dalam agama manapun tidak ada yang tunggal, selalu ada perbedaan. Oleh karena itu semua agama memiliki madzhab yang berbeda-beda, bahkan dalam hadis dikatakan Agama Yahudi terpecah-pecah karena perbedaan tafsir menjadi 71 firqah, agama Nasrani 72 firqah dan Islam yang terbanyak. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menghindari tafsir yang berbeda-beda, karena tafsir yang berbeda-beda di semua agama adalah sebuah keniscayaan.
Bagaimana kita menyikapi perbedaan tafsir ini ?
Jadi, apa yang mesti kita sikapi adalah mengerti adanya berbagai perbedaan tafsir di masing-masing agama. Jadi ada dua level toleransi sebenarnya; pertama, toleransi antara umat yang berbeda agama, maka rujukannya kepada ayat Lakum Diinukum Waliyadiin (Bagimu agamamu bagiku agamaku). Sedangkan di dalam satu agama, berkaitan perbedaan pemahaman dan itu niscaya, maka rujukan kita adalah Lanaa amaalunaa walakum amaalukum (bagimu amaliyah keagamaanmu, dan bagi kami adalah amaliyah yang kami miliki). Jadi tidak ada alasan bagi kita semua untuk menistakan orang lain hanya karena beda pemahaman meskipun satu agama. Bahkan kepada orang yang berbeda agamapun kita harus mentolerir, tidak boleh kita mencela agama orang lain, juga perbedaan amaliyah yang muncul dari agama yang sama.
Apa saja macam radikalisme yang bisa mengganggu stabilitas bangsa?
Pertama, sikap ingin memaksakan pemahaman yang dimilikinya terhadap orang lain terhadap suatu agama yang sama. Yang tidak sepaham dengan dirinya walau agamanya sama dianggap sebagai orang kafir. Biasanya sikap yang demikian tidak hanya sekadar mengkafirkan orang tidak sepemahaman saja, melainkan akan diikuti sikap permusuhan juga sikap menafikan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagaimana tanggapan Bapak terkait keberadaan Islam transnasional di Indonesia?
Islam sendiri sebenarnya sudah transnasional, karena Islam hadir di Mekkah kemudian menyebar ke semua negara, termasuk Indonesia. Yang menjadi masalah adalah apabila adanya kekuatan agama kemudian diikuti aksi untuk mengambil kekuasaan sesuai dengan madzhabnya. Karena orientasinya kekuasaan biasanya hal itu cenderung kepada memaksa orang lain yang meskipun seagama namun beda pemahaman.
Apa implikasi penyalahgunaan tafsir terhadap intoleransi ?
Maka biasanya intoleransi dalam satu agama yang berbeda pandangan, berasal dari pemahaman yang bersifat fundamentalistik yang menganggap tafsir dirinya saja yang paling benar sementara yang lain tidak. Bahkan tidak hanya menyalahkan orang yang memiliki pandangan lain, namun cenderung menyingkirkan bahkan menghabisi mereka yang berbeda pandangan meskipun agamanya sama. Dalam Islam, misalkan syahadatnya semua sama, namun madzhabnya berbeda. Maka yang seperti itu seringkali dianggap Islamnya cacat bahkan sampai dianggap batal.
Reporter: vivi
editor: Mufti