Eksis dan Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow

“manusia pada dasarnya cenderung ingin memenuhi kebutuhan pada jenjang selanjutnya setelah kebutuhan yang mendasar atau relatif lebih rendah telah terpenuhi” Abraham Maslow.

Sumber: kopywritingkourse.com

Sumber Illustrasi : kopywritingkourse.com

Kata eksis belakangan ini sangat mainstream terdengar, baik eksis di media massa, televisi, radio, sampai eksis di dunia maya. Kata eksis berasal dari Bahasa Inggris exist yang berarti ada, yang hidup, dan adanya. Secara istilah dapat dimaknai bahwa eksis adalah suatu keadaan di mana seseorang ingin dihargai keberadaannya atau eksistensinya oleh orang lain.

Sebelum era teknologi muncul hanya kalangan tertentu saja yang diakui eksistensinya di lingkungan masyarakat, seperti; para pemuka agama, pejabat, aktivis, artis, dan para pemilik modal.

Namun hal tersebut berubah seiring dengan semakin pesatnya kemajuan di bidang teknologi yang turut memberi kesempatan untuk eksis bagi setiap masyarakat melalui media-media sosial.

Keadaan ini turut memicu tumbuhnya anggapan bahwa eksistensi diri di dalam masyarakat diperlukan. Sehingga eksistensi (red: eksis) kini perlahan beralih menjadi sebuah kebutuhan setelah kebutuhan primer dan sekunder.

Virus ini tidak hanya melanda orang dewasa, entertainer, ataupun musisi dan sejenisnya melainkan hampir ke seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial, lingkungan, umur, ataupun jenis kelamin.

Bahkan orang-orang rela tampil dengan sedemikian rupa menutupi sifat aslinya demi sekadar diakui eksistensinya oleh masyarakat. Yang sejatinya bukanlah orang baik dapat menutupi keburukannya dengan tutur kata yang sopan, mereka yang cenderung pendiam bisa menjadi cerewet dan menampilkan sifat akrabnya, serta orang yang masih single bisa mengaku sudah berhubungan, dan sebagainya.

Kecenderungan seseorang ingin dihargai eksistensinya di lingkungan masyarakat ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, bahwa manusia pada dasarnya cenderung ingin memenuhi kebutuhan pada jenjang selanjutnya setelah kebutuhan yang mendasar atau relatif lebih rendah telah terpenuhi.

Dalam teorinya, Maslow membagi tingkatan kebutuhan manusia ke dalam lima bagian; kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan), rasa aman, dimiliki (red: dianggap) dan mencintai, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.

Dari beberapa bagian tersebut ada dua indikasi dari teori Maslow di balik eksisnya seseorang, yaitu karena kebutuhan ingin dimiliki dan mencintai, serta kebutuhan untuk mendapat penghargaan diri dari orang lain.

Kebutuhan untuk dimiliki dan mencintai orang lain akan menjadi tujuan yang dominan setelah kebutuhan fisioligis dan rasa aman relatif telah terpenuhi. Keinginan agar terpenuhinya kebutuhan ini akan terus ada, karena seseorang cenderung memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesendirian, pengasingan, ditolak oleh lingkungan, dan kehilangan sahabat atau cinta.

Eksis ditempuh sebagai salah satu jalan untuk mendapatkan perhatian dari orang lain dan dianggap eksistensinya oleh lingkungan ia berada. Bila sudah mendapat tempat di lingkungannya seseorang cenderung bosan dan menginginkan yang lebih dari sekadar pengakuan, yaitu berupa penghargaan dari orang lain, baik materil maupun non-materil.

Dalam mencapai kepuasannya seseorang harus melewati step by step kebutuhan untuk mencapai suatu titik kepuasan pada tiap jenjangnya. Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti prosentase kepuasan seseorang pada tiap jenjangnya.

Jika kepuasan dirasa masih kurang atau bahkan kecil, maka seseorang cenderung akan kembali kepada jenjang yang belum terpuaskan hingga memperoleh tingkat kepuasan yang dikehendaki. Maslow memperkirakan bahwa rata-rata prosentase kepuasan kebutuhan manusia tidak mencapai 100%.

Lantas bagaimana jika seseorang yang sesungguhnya belum terpuaskan kebutuhan dasarnya sudah berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan pada jenjang selanjutnya? Maslow menjawab bahwa dengan dibaginya kebutuhan manusia menjadi beberapa tingkatan tidak berarti mengindikasikan adanya suatu hierarki (red: urutan). Melainkan, kebutuhan manusia bersifat tumpang tindih, yang berarti kebutuhan yang dasar bisa menjadi kebutuhan sekunder, dan seterusnya, atau dua kebutuhan berbeda yang diinginkan pada saat yang sama. Akan tetapi dengan syarat kebutuhan yang dasar sudah pernah ditunaikan sebelumnya. (Afif/j)