Campur Tangan Agama
Tak seharusnya juga agama dibiarkan berselancar sebebas-bebasnya dalam politik,


Judul Buku :
Agama Dalam Ruang Publik
Penulis :
Gusti A. B. Menoh
Cetakan :
I, 2015
Penerbit :
PT Kanisius, Yogyakarta
Tebal :
235 halaman
Peresensi :
Adila Nafiatul Rafian
Tradisi- tradisi religius memiliki kekuatan artikulasi yang istimewa berkaitan dengan intuisi-intuisi moral, secara khusus berkenaan dengan bentuk-bentuk kehidupan bersama yang manusiawi. Itulah sekelumit pendapat dari Jurgem Habermas, salah satu filsuf kontemporer yang mempunyai pengaruh sangat luas, terutama dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan. Lahir pada 18 Juni 1929 di Jerman, Hebermas muda pernah menjadi asisten Theodor W. Adorno di Institute fur Sozialforschung ( Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt. Disini Habermas mempersiapkan habilitasi-nya yang kemudian turut membuat namanya terkenal di kacah dunia, karya tersebut berjudul The Structural Transformation of Public Sphere.
Buku berjudul Agama Dalam Ruang Publik karya Gusti A. B. Menoh, alumnus Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) ini, berisi tentang pemikiran-pemikiran Habermas dalam lingkup hubungan antara agama dan juga negara. Penulis secara detail dan teratur mengungkapkan serta menjelaskan bagaimana pandangan Habermas tentang keagamaan di ranah politik. Terdiri dari enam bab pembahasan, yang dikupas sangat rapi oleh penulis, jadi memudahkan kita dalam memahami isi bacaan.
Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, itulah istilah demokrasi yang dikenal di Indonesia. Menurut Habermas, negara demokrasi harusnya tidak melepaskan diri dari unsur agama, ini berarti agama atau unsur religius haruslah ada di setiap pemikiran atau keputusan yang di ambil oleh negara. Karena menurut Habermas, jika agama turut andil dalam negara demokrasi, maka akan terjadi kemaslahatan. Menurutnya, agama mengandung potensi sematik ( isi rasional) yang ternyata sejalan dengan ide-ide demokrasi seperti keadilan dan hak asaai manusia.
Namun, dalam pelaksanaannya haruslah seimbang. Indonesia adalah negara demokrasi, bukan negara yang menganut paham sekulerisme, radikalisme atau kapitalisme. Jadi, pemikiran Habermas sangat pantas diteraptkan di negeri ini. Dalam kenyataannya, jika ingin menciptakan kedamaian, maka agama dan negara haruslah berjalan seimbang. Bukan dengan mendominasikan agama yang akan menjadikan terbentuknya radikalisasi dan bukan juga mengabaikan agama yang akan membuatnya menjadi kapitalisasi. Indonesia bukan negara yang sekular, artinya tidak memisahkan antara agama dan negara.
Habermas sendiri tidak setuju dengan aliran liberalisasi yang menurutnya membungkam agama dalam politik. Tetapi, tak seharusnya juga agama dibiarkan berselancar sebebas-bebasnya dalam politik, karena yang ada akan mengganggu netralitas hukum demokrasi, yang pada pandangan negara memang plural (halaman 127). Memang sulit jika harus memisahkan antara negara dan agama, dengan kata lain menjadi negara sekulerisme. Karena akan dipastikan terjadinya protes dari masyarakat yang mayoritas berideologi religius.
Dalam pandangan Habermas ada tiga fase perkembangan agama. Pertama, agama bagian dari Labenswelt yang harus dilewati, kedua sebagai bagain dari good life yang perlu dipertimbangkan oleh liberalisasi politik, ketiga sebagai pandangan total berhadapan dengan sekuleritas. Pemikiran ini muncul karena Habermas berpikir dengan keadaan masyarakat demokrasi modern, yang menurutnya akan melunturkan, bahkan menghilangkan unsur agama atau religius dalam menjalankan kehidupannya.
Demokrasi deliberatif atau teori diskursus merupakan pemikiran utama dari Habermas. Dimana teori ini muncul akibat ketidak setujuannya dengan liberalisme dan republikanisme. Asumsi yang muncul, bahwa liberalisme hanya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada manusia dan menepatkan individu lebih utama. Sedangkan republikanisme sangat menjunjung tinggi suara mayoritas dari warganya, sehingga negara akan sangat patuh terhadap teori ini. Teori diskursus yang diusungnya menampilkan bagaimana negara dalam mengambil bagian yang penting dari kedua teori diatas.
Harapannya, dari demokrasi deliberatif ini sebagai kerangka konseptual, yang tetap netral dengan kerja sama antara deliberasi publik dan kelompok-kelompok religius. Argumen- argumen religius perlu dipertimbangkan sebagai proses diskursus, yang mana tetap berlandaskan pada negara hukum. Nalar dalam menjelaskan agama secara akal pikiran ini sangat diperlukan, agar terciptanya negara konstitusional dengan berciri insklusif dan deliberatif. Jadi, pendekatan secara agama perlu dipelajari lebih dalam lagi dalam menentukan alasan agar dapat terjelaskan secara rasional.
Bab 6, yakni bab penutup pada point 6.1 memuat kritikan pemikiran dari Habermas sendiri, yaitu bahwa walaupun pemikirannya sangat bagus dan relevan untuk masyarakat plural, tapi ada kelemahan dalam pemikirannya ini.
Pertama, demokrasi deliberatif hanya prosedur untuk meraih legitimasi hukum. Distingsi- distingsi antara yang prosedural dan yang substansial yang sentra pada pendekatan Habermas tidak dapat dipertahankan. Dalam arti itu, rasio komunikatif diduga sebagai rasio sekuler modern. Jadi, negara hukum modern pun tidak netral karena berpihak pada rasio sekuler itu terdapat dalam (halaman 218).
Kedua, Habermas mengusung pemikiran pasca metafisik dalam mendekati agama. Apa yang dimaksudkan dengan pemikiran pasca metafisik adalah sikap menahan diri untuk membuat pernyataan ontologi. Habermas menggambarkan posisinya sebagai agnostik, yang artinya di satu sisi menahan diri dalam menilai kebenaran-kebenaran religious, sambil tetap menuntut batas antara iman dan pengetahuan seperti di kutip dalam (halaman 218).
Ketiga, meskipun Habermas berbicara sangat serius tentang agama dalam proses politik negara, namun sesungguhnya dia berbicara bukan dari perspektif seorang religius, melainkan sebagai seorang observer. Habermas sendiri mengatakan, Hanya apabila seseorang adalah umat dan dapat berbicara sebagai pihak pertama dari dalam suatu tradisi religius partikukular akan membicarakan pengalaman spesifik religius di mana keyakinan-keyakinan dan alasan-alasan agama bergantung. Namun, pada kenyataannya Habermas tidak pernah menjadi partisipan dalam sebuah komunitas iman, justru banyak berpolemik dengan keyakinan-keyakinan religius terdapat di (halaman 219).
Buku ini sangat membantu kita untuk berpikir kritis dalam menghadapi pemikiran dan persoalan yang mungkin terjadi di sekitar kita. Sangat membantu mengembangkan logika kita dalam menjawab tantangan teori-teori yang ada. Karena di dalamnya telah ditulis secara rapi dan detail dari tiap tahapan pemikiran filsuf, Jurgem Habermas. Dengan membacanya, dapat membuat kita seakan berpikir kembali tentang keadaan negara kita yang bukan sekulerisme. Namun, apakah agama dan politik telah berjalan seimbang. Itu yang perlu dikaji ulang.(Adila)