Bola dan Jurus Mengkambinghitamkan Oknum Ala Militer

Keberadaan TNI yang selalu mengkambing hitamkan oknum dalam setiap kejadian militer menggunakan dalih kekerasan terhadap warga sipil.

Banyak campur tangan militer dalam berbagai sendi kehidupan, masyarakat militer nyaris tanpa kontrol dari warga sipil (Arie Sutijo)

Layar sepakbola kita kembali tercoreng oleh aksi tak terpuji pelaku lapangan hijau. Mulai dari para pemain yang mempragakan jurus kungfu di atas lapangan hijau sampai para heroik yang bersembunyi di balik baju militer hingga melayangkan satu nyawa ke alam baqa Lantas, mau apalagi kita kalau ujung-ujugnya tawur terus selesai sepakbola. Apakah kita butuh Si Pendingin nafsu supporter, Socrates yang bersabda Pertandingan sepakboa hanyalah 90 menit, selebihnya kita bersaudara,

Atau memang kita ditakdirkan untuk memupuk semangat kebencian mulai dari rumah hingga stadion kemudian di akhiri baku hantam sebelum peluit akhir pertandingan ditiup untuk menghantarkan kepulangan kita ke rumah.

Sebentar, ada salah satu ketidaksregan penulis saat melihat video puluhan orang berkaos militer yang turut serta melempari supporter Persita Tanggerang –La Viola- usai Tim kesayanganya kalah dari PSMS di Stadion Cibinong Mini, Bogor. Di susul lagi puluhan militer, mendorong sekaligus meluncurkan tendangan pada pintu stadion hingga penyok. Tendanganya mirip stretching militer sebelum melakukan simulasi perang meskipun perang melawan sipil yang tanpa keterampilan bela diri serta senjata- di padang pasir.

Melihat keberadaan oknum pengkambinghitaman militer dalam setiap peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota militer menjadi pelakunya mirip dengan gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Jendral Sudirman untuk mengusir penjajah dari Tanah Jawa. Seperti yang dipaparkan Hipolitus Wange dalam tulisannya yang berjudul Kekerasan Militer di Era Reformasi

Strategi pertahanan nasional selama ini cenderung bersifatinward-looking. Hal ini bisa dilihat dari doktrin dan postur pertahanan RI yang bersifat defensif. Hal tersebut diakibatkan oleh pengalaman pertempuran bangsa ini yang didominasi pertempuran internal, melawan kolonialisme dan apa yang disebut separatisme. Hal ini membuat TNI mengadopsi perspektif keamanan yang fokus pada kekuatan koersif terhadap masalah-masalah internal.

Wajar bila TNI menganggap supporter (sipil) bagian oposan yang harus ditekankan karena menggangu keamanan nasional. Di lain sisi, romantisme PSMS dan TNI yang sedang dalam masa-masa bulan madu.

Sebenarnya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 dijelaskan salah satu tugas dari TNI adalah membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, seperti yang dipaparkan oleh Hipolitus Wangge bahwa militer sudah kadung pakai pendekatan represif dari situnya. Peraturan terabas aja dah

Pengkambinghitaman Oknum

Setiap pelanggar dari orang sipil dikatan tersangka, istimewanya mereka yang berbaju militer sebelum tersangka dikatakan oknum militer. Narasi diperuntukkan melindungi dari kecatatan, yang sebenarnya sudah lumrah ada dalam setiap lini birokrasi dalam demokrasi. Namum kenyataan itu harus diterimas sebagai supremasi militer atas sipil.

Penulis mengutip dari Tirto.id, Zen RS menuliskan bahwasanya keberadaan TNI yang selalu mengkambing hitamkan oknum dalam setiap kejadian TNI menggunakan dalih kekerasan terhadap warga sipil.

Dalih oknum senjata pamungkas untuk menghindarkan prajurit dari segala bentuk hukuman. Jikalau penyerang La Viola hanya satu orang, pihak keamanan stadion akan mampu menyelesaikanya secara singkat. Ketika mereka melakukan atas nama tugas dan korsa, justru kocar-kacirlah pihak keamaan yang bertugas.

Kedigdayaan militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyusup hingga sendi-sendi tontonan merakyat, seperti pertandingan sepak bola. Alih-alih TNI menganggap sipil yang seringkali egois-tidak becus-lebih senang cek-cok hingga orientasi syahwat politik berlebih. Justru TNI sendiri yang menjilat anggapan itu.

Sipil, tidak bisa memungkiri bahwa sejarah berkata bahwa militer memiliki peran dominan dalam merebut Indonesia ke tiang kemerdekaan. Dalih ini, selalu berulang-ulang disampaikan dalam kegiatan TNI bersama sipil..

Jikalau sudah berurusan menenai pelanggaran hukum atau hak asasi manusia, jangan lari terbirit-birit ke barak untuk memintar perlindungan. Melainkan menghadapi dengan seyogyanya sipil lakukan ketika kedapatan melanggar dengan legowo. Menurut hemat penulis, justru ketika TNI tidak kooperatif menjadi simalakama bagi instusi itu sendiri.

Maka pola represifitas berjamaah kemudian mengatasnamakan oknum segeralah dihentikan sebagai upaya profesionalisme TNI yang dicita-citakan oleh reformasi. Supremasi yang diwariskan orde baru seharunya dikikis sedikit demi sedikit, agar tercapai TNI kuat bersama Rakyat.

Begitu pula, dalam gelanggang bola kesetaraan militer dan sipil harus dikedepankan. Bukan sebagaimana dilakukan oleh prajurit yang menghajar pendukung Gresik United di awal-awal perhelatan Gojek Traveloka Liga Indonesia.

Hutington dan Egoisme TNI

Dalam karyanya yang sudah menjadi klasik,The Soldier and the State(1957), mendiang ilmuwan politik Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, menawarkan sebuah tafsir modern atas peran angkatan bersenjata dalam batang tubuh sebuah negara.

Tafsir modern yang digagas oleh Samuel Hutington dalam karyanya The Soldier and The State (1957) bahwa militer merupakan batang tubuh sebuah negara yang berkaitan antara negara (state) dan serdadu (soldier) idealnya didasarkan pada kendali sipil objektif (objective civilian control)

Intitusi militer, menurut Hutington, selaku pihak yang ditempa secara khusus seharusnya mengaplikasikannya dalam membela kedaulatan suatu negara, bukan bertempur di pasar bebas dengan warga sipil. Profesionalitas para serdadu ini wajib hukumnya dianggap dan berkemampuan untuk melakukan hal-hal yang telah semestinya ia lakukan sesuai tugas-tugas militer pada umumnya, dan tidak patut mencerobohi pasar bebas tempat warga sipil bersaing.

 

Dalam kejadian penyerangan terhadap suporter Persita, militer tengah bersaing dengan sipil di pentas sepak bola nasional. Suporter Persita (sipil) yang terbiasa hidup di pasar bebas dan tidak memiliki pendidikan khusus di bidang pertahanan jelas kalang kabut. Meskipun terdapat, embel-embel tugas negara, tidak diperkenankan kekerasan fisik maupun verbal dilakukan aparatur terhadap negara. Melanggar hak asasi manusia.

Pengamat Politik, Made Supriatma berujar tugas pemimpin sipil adalah menjamin tentara melakukan fungsi kemiliteran sebaik-baiknya, dan memberikan dana yang cukup untuk itu. Tugas sipil membangun sistem politik dan ekonomi yang membuat tentara tumbuh dan berkembang sebagai tentara. Pekerjaan rumah TNI untuk mereformasi dirinya dalam sistem demokrasi masih belum tuntas. Janganlah TNI digoda untuk kembali ke zaman pra-1998.

Andrew Ross (1987) mengaggap bahwa militerisasi yang mengarah pada militerisme akan menunjukkan aspek pemujaan terhadap peperangan. Aktivitas sosial TNI di dalam masyarakat pun mengarah pada peperangan itu sendiri. Peperangan yang didesainn berupa perangkat pertahanan dan pencegahan oleh negara.

Perihal ini tentu kita bisa mengamini bersama, kebijakan represif negara selalu diselesaikan oleh militer. Mulai dari diskusi komunisme, berjualan buku kiri, hingga menonton sepak bola di stadion. Militer tidak akan pernah habisnya untuk melakukan seribu jurus di layar sepak bola nasional, selain sebagai pemain yang dituntut mengikuti Laws Of the Game dari FIFA begitu pun suporter yang berseragam ala militer

Militer profesional menurut Samuel Hutington, seharusnya memiliki tiga ciri menonjo, Pertama, ciri utamanya adalah keahliaan, dimana militer memiliki keahlian dan ketrampilan secara spesifik. Hal ini diperlukan keahlian yang mendaam untuk mengorganisisr, merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya. Kedua, adanya tanggungjawab sosial yang khusus. Keetataan seorang militer (perwira) semata-mata bukan pada komanddan, tetapi harus memiliki tanggung jawab pada negara. Dengan kata lian hubungan control dalam struktur militer professional yang juga diletakkan antara perwira dan komandan secaa timbal balik terutama berkaitan untuk integritas kepentingan rasiona. Kondisi seperti ini tentu saja brlainan di era dulu. Ketiga, militer professional memiliki karakter koorporasi yang melahirkan esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer professional tersebut melahirkan, apa yang oleh Hutington disebut dengan the military mind, yang menjadi dasar hubungan militer dan negara.

Kejadian yang menimpa Persita semoga segera diusut tuntas oleh pihak yang berwajib. Prinsip equality of law harus menjadi pijakan dalam menerapkan sanksi terhadap pelaku. Jikalau tindak lanjut tak berjalan, berarti menunggu korban-korban berikutnya. Sipil siap siaga melihat TNI pasang kuda-kuda. Udah gitu ajah ! (RF)