Isu Agama Jadi Komoditas Empuk Saat Pesta Demokrasi

Masyarakat Indonesia harus saling menyadarkan bahwasanya isu agama menjadi kendaraan politik yang berujung konflik sosial

Izzak Lattu, Ph.D (berkacamata) dan Drs. Tafsir, M.Ag. (kiri) ketika menjadi pemantik dalam Diskusi Studi Agama-Agama di Aula Fakultas Ushuludi dan Humaniora, Rabu (08/10) siang. (Dok. Icha/Justisia)

Izzak Lattu, Ph.D (berkacamata) dan Drs. Tafsir, M.Ag. (kiri) ketika menjadi pemantik dalam Diskusi Studi Agama-Agama di Aula Fakultas Ushuludi dan Humaniora, Rabu (08/10) siang. (Dok. Icha/Justisia)

Persoalan agama di Indonesia menjadi sarana empuk dijadikan komoditas isu disaat pesta demokrasi akan berlangsung.

“Masalah (agama) sering terjadi pada masalah politik. Apalagi ketika mendekati pesta politik (Pilkada Serentak 2017), perselisihan antar agama semakin mengeras,” ungkap Izzak Lattu.

Masyarakat Indonesia harus saling menyadarkan bahwasanya isu agama menjadi kendaraan politik yang berujung konflik sosial.

“Kita pun harus sadarorang orang yang memanfaatkan isu isu agama itu untuk kendaraan politik. Jadi sebenarnya, politiklah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik tersebut,” tambah Dosen Fakultas Teologi UKSW dalam Diskusi Studi-Studi Agama di Ruang Sidang FUHUM, Rabu (18/10) siang.

Dalam diskusi tersebut, Tafsir yang juga menjadi pembicara saat itu, sepakat bahwa yang menyebabkan konflik-konflik tersebut adalah faktor politik.

“Masing-masing memiliki truthyang sangat kuat, lalu karena fanatisme masing-masing agama memutlakkan diri, sebagai kelompok yang paling benar kelompok lain yang salah,” tutur Dosen Studi Agama-Agama Fakultas Ushuludin dan Humaniora.

Ia menjelaskan orang-orang yang dianggap salah itu bisa ikut bergabung dengan dirinya. Namun langkah untuk menghasilkan keputusan politik, bagaimana membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain.

“Inilah (salah satu) penyebab akar konflik dari dua agama, karena agama menjadi identitas politik,” kata Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah.

Identitas politik menuntut kuantitas pemeluk agama menjadi massa dalam kontestasi politik elektoral.

“Politik kan ditentukan melalaui jumlahpengikut, semakain besar jumlah pengikut semakin besar pengaruhnya. Sehingga agama ramai-ramai mengajak orang menjadi pengikutnya supaya membuat kita menjadi agama dengan pengikut paling banyak,” ungkap pria asal Kebumen itu.

Ia menerangkan perihal mayoritas yang menjadi kekuatan politik secara otomatis menjadi kekuasaan yang mungkin menguntungkan dirinya merugikankelompok lain. Kecenderungan tersebut dapat salah satu akar konflik.

Permasalahan tersebut menuntut masyarakat untuk lebih dewasa dalam beragama sebagai salah satu tindakan menangkal konflik antar agama.

“Kita harus saling terbuka, toleran danjujur. Jika kita bisa membangun tiga sifat tadi, insyaallah kita bisa menjadi dewasa dalamberagama. Kalau kita dewasa dalam beragama insyaallah kita bisa dihindari. Selain itu juga harus mengedepankan sikap rendah hati,” ucap pria berpeci hitam itu.(Dera/Asrar/Rabith)