Fatwa Bukan Penjara Umat Beragama

Dari kiri Khoirul Anwar (Baju Putih, Peneliti Elsa), Izzak Y.M Lattu (Dosen Fakultas Teologi, UKSW), Tedi Kholiludin (Moderator), serta Dr. Rumadi Ahmad (Penulis buku "Fatwa Hubungan Antar Agama")

“Jargon-jargon “kafir” itu sebenarnya jargon dari agama bukan bentukan sebuah negara. Sehingga dalam kasus agama seperti ini seharusnya agamaa yang mmengambilnya secara koomperhensif, bukan jawaban persial atas sebuah negara,” tutur Dosen Fakultas Syariah & Hukum, Abu Hapsin.
Masyarakat muslim Indonesia masih menganggap keberadaan islam masih pada tataran negara dan agama saja. Berangkat dari hal tersebut organisasi keagamaan tertentu mencoba melindungi umat melalui fatwa-fatwa. Ini berfungsi menjerat pihak intern dan ekstern yang merupakan stakeholder organisasi.
Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah merespon sangat baik .terhadap penelitian oleh Rumadi Ahmad berjudul “Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia”. Dapat menambah khazanah keilmuan untuk merajut bina damai di negara Indonesia yang sangat multikultural. “Bisa menjadi motivasi kepada pihak-pihak yang konsentrasi di bidang perdamaian untuk melakukan penelitian sebagai upaya pencerahan,” paparnya dalam acara bedah buku “Fatwa Hubungan Antar Agama” di Audit 1 UIN Walisongo Semarang (19/04)
Buku Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia merupakan riset yang dilakukan selama 2012 hingga 2013. Penelitian yang bertujuan untuk mengungkap persoalan fatwa keberagaman yang serius. Sering kali terjadi ketegangan sosial di masyarakat Indonesia akibat perbedaan keyakinan.
“Fiqih yang dianggap sebagai rujukan penting untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan ini. Melalui fatwa-fatwa MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Lembaga Bathsul Masail NU yang dikeluarkan menyangkut isu-isu hubungan antaragama di Indonesia. Menjadi pro kontra” tuturnya. .
Fiqih terkadang bersifat idealis bahkan utopis. Menjadikan fatwa-fatwa yang dihasilkan beragam. “NU berangkat dari kajian kitab kuning, jadi tidak mengherankan jika banyak fatwa yang bermacam-macam meskipun dari satu orang ulama. Namun sekarang ada juga yang mengutip dari dalil dan hadist, tapi tetap dalam pendapat ulama itu sendiri. Sedangkan Muhammadiyah dan MUI murni menggunakan Al-Qur’an dan Hadist tidak memperhatikan secara kontekstual,” ucap Dosen UIN Syarif Hidyatullah.
Perbedaan mencari sumber fatwa di amini oleh Peneliti ELSA Semarang, Khoirul Anwar. Orang-orang yang berperan dalam fatwa meliputi adanya mufti, mustafti, dan fatwa. Fatwa akan menghasilkan berbeda-beda dalam dengan satu persoalan masalah yang sama apabila mustafti berbeda tempat
“Jika mustafti A berada di Jawa kemudian mustafti B berada di Papua kemudian mereka sama-sama menanyyakan tentang suatu persoalan yang sama. Namun dalam hal ini jawabannya jelas berbeda. Maka tak heran jika dalam pendapat ulama meskipun itu dari satu ulama yang berpendapat, namun akan menghasilkan beberappa pendapat yang berbeda. Karena sifatnya yang realistis, mengikat, dan idealis,” tuturnya.
Karya yang terinspirasi dari buku yang berjudul “Speaking in God’s Name salah satu karya dari Khamed Abou El-Fadl yang berbicara bahwa Fatwa merupakan manifestasi hukum Tuhan. Kemudian buku karya Atho Mudzar (1990) yang berbicara tentang hukum Islam di Indonesia MUI berfatwa dan Muhammad Ali yang berjudul “Fatwa’s on Inter-Faith Marriage” dalam Studi Islamika UIN Syarif Hidayat Jakarta serta Fatimah Husein “Studi Relasi Islam-Kristen”.
“Mufti berbicara atas nama Tuhan dan Fikih merupakan hukum yang transenden dengan adanya teologisasi di dalamnya. Fatwa yang dihasilkan oleh MUI, Muhammadiyah, maupun NU. Dari semua fatwa yang ada mengerucut pada permasalahan mengenai nikah beda agama,” papar Ketua PP Lakpesdam NU.
Penjara Itu Bernama Fatwa
Terdapat beberapa implikasi fatwa dalam hubungan sosial antar masyarakat muslim seharusnya terbuka terhadap sesama. “Pertama, adanya sikap saling curiga antar umat beragama. Kedua, kerukunan dan toleransi antar agama sebenarnya sangat tipis, yang cenderung mudah tergerus. Ketiga, Fatwa tidak mengikat, tapi didalamnya selalu menjadi rujukan bagi massyarakat dalam bertindak,” tutur Alumni Fakultas Syariah & Hukum UIN Walisongo Semarang.
Dalam kesempatan tersebut, Dosen Fakultas Teologi UKSW, Izak Y. M. Lattu menuturkan pentingnya dalam hubungan antar agama misalnya, pengucapan salam. Sebagai korelasi dalam suatu agama itu sendiri. Fatwa yang berangkat dari sebuah teologi. Dimana islam dapat berjalan sesuai tuntunan jaman, seperti halnya Islam dan demokrasi di Indonesia bisa berjalan berdampingan.
“Bermula dari sebuah konsepsi agama sebelum-sebelumya yang berada si Indoneisa. Misalnya, Hindu dan Budha yang kemudian berasimilasi dengan Islam di dalamnya. Selain itu faktor yang melatar belakangi lainnya adalah sosial budaya masyarakat itu sendiri, seperti tradisi bertani, gotong royong, dan lainnya. Faktor tersebut bisa mempererat tali persaudaraan masyarakat,” paparnya.
Pengalaman pribadi pria asal Ambon mengenai rajutan bina damai antar umat beragama di Ambon yang mengatas namakan agama. Untuk meredakan peristiwa tersebut diperlukan waktu lima tahun. Karena masyarakat tidak lagi terpaku pada satu permasalahan saja. “Masyarakat memandangnya dari segi sosial budaya atau adat istiadat yang ada. Sehingga ketegangan yang ada di masyarakat lenyap dengan sendirinya,” jelasnya.
Symbol Imagination
Tempat-tempat ibadah berupa masjid dan gereja yang ada di Ambon dan Toraja. idak 100% murni masjid dan juga tidak 100% murni gereja. Masyarakat disana mengutamakan gotong royong antar umat beragama. Pembangunan sebuah masjid mulai dari rancangan, pembangunan, hingga pendanaan tidak murni dari muslim. Terdapat bantuan dari warga sekitar yang notabene Kristen dan Katolik. Begitu halnya dalam pembangunan gereja yang tidak semuanya dari goolongan Kristen, namun ada juga yang berasal dari muslim.
“Maka dari itu dalam pembangunan masjid dan gereja disana dikatakan tidak 100% murni sebagai masjid dan tidak juga 100% murni sebagai gereja. Ini penelitian yang saya lakukan tahun 2012-2013. Acara perayaan natal, sunatan, doa bersama atau acara adat lainnya, Islam dan Kristen selalu menyatu di dalamnya. Itulah yang dinamakan sebagai symbol imagination dalam masyarakat” tutur Alumnus UCLA, USA. .
Khoirul Anwar sebagai perwakiilan dari Batsul Masail NU Jawa Tengah, Dalam hal ini bbeliau mengatakan bahwa fatwa berbeda dengan Hukum Islam. Dalam fiqih meliputi adanya mufti, mustafti, dan fatwa. Fatwa ini berbeda-beda dalam dengan satu persoalan masalah yang sama apabila mustafti berbeda tempat, misalnya jika mustafti A berada di Jawa kemudian mustafti B berada di Papua kemudian mereka sama-sama menanyyakan tentang suatu persoalan yang sama. Namun dalam hal ini jawabannya jelas berbeda. Maka tak heran jika dalam pendapat ulama messkipun itu dari satu ulama yang berpendapat, namun akan menghasilkan beberappa pendapat yang berbeda. Karena sifatnya yang realistis, mengikat, idealis.
Bedah buku “Hubungan Fatwa Antar Agama di Indonesia” ini merupakan serangkaian agenda memperingati Hari Lahir LPM Justisia ke – 23. Dimana setiap tahunnya rutin menggelar bedah buku, karya dari alumni Justisia. (J/YQ)