Amoralitas Demokrasi Mahasiswa

Praktik demokrasi di indonesia telah diterapkan dalam lingkungan kampus, pelakunya adalah mahasiswa. Namun kisah tentang istilah biasanya terjalin kusut dengan salah-kaprah. Istilah “demokrasi” misalnya, menyempit dalam rupa pemilihan umum, atau juga ”kekuasaan” menciut kedalam sosok birokrasi (pemerintah). Tidak seperti otonomi ”penanda” dalam strukturalisme bahasa. Mungkin begitulah kisah setiap kemurnian sebuah istilah yang telah jatuh dalam simpang-siur sejarah. Sesudahnya, sejarah pemikiran lebih sering berisi pertikaian arti dalam hiruk-pikuk peristiwa. Rupanya itu pula nasib demokrasi liberal yang terjadi di dunia pergerakan kampus.
Istilah demokrasi liberal yang luas digunakan dewasa ini telah disalahartikan. Mahasiswa telah diberi kebebasan untuk berproses dalam kampus, awalnya para kaum terpelajar tersebut disatukan dalam satu tujuan, yaitu diberi kesempatan untuk mengisi strukturalisme kekuasaan dan menikmati kursi miniatur negara. Namun realitasnya, istilah demokrasi liberal tersebut telah digunakan sebagai alat untuk melancarkan ambisi individualisme mahasiswa itu sendiri. Sehingga terjadilah sebuah peristiwa yang sama seperi dalam permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan untuk melempar umpan-umpan, untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya tujuan akhir, pemuncak kekuasaan itu sendiri. Takhta di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadinya.
Demokrasi merupakan kompetisi berdasarkan kepentingan tertentu. Seperti halnya lomba, kompetisi politis menerjemahkan kepada kita bagaimana suatu kekuasaan dicapai, diperjuangkan dan dipertahankan menurut integritas yang tertuang dalam visi-misi masing-masing. Perang politik dalam mencapai suatu kekuasaan menciptakan mindset tersendiri tergantung antagonisme yang muncul. Ada sebagian yang melakukan gerakan bawah tanah demi mendulang massa. Ada pula yang melakukan koalisi antar partai. Strategi politik pada dasarnya mengacu kepada kepentingan kekuasaan dengan memandang suatu kelas tertentu sebagai sasaran perekrutan suara. Misal, pada suatu kelas mahasiswa membutuhkan beasiswa, mungkin dirasa sebagai sasaran empuk bagi calon penguasa.
Nampaknya, sejauh ini belum ditemukan obat untuk mencegah virus yang telah menjangkiti para mahasiswa. Meski telah di keluarkannya SK (Surat Keputusan) Rektor di masing-masing lembaga Pergurua Tinggi (PT), gaya politik yang digunakan seolah-olah cenderung meniru para aktor politik senayan sensasional, dengan perlindungan demokrasi, mereka bergerak sesuka hati. Entah mereka menggunakan hati nurani atau keras kepala, keduanya tak dapat dibedakan oleh rakyat (Mahasiswa) jelata yang telah menyumbang suara kekuasaan. Tanpa melihat bagaimana gaya pemain yang hanya berperan sebagai figuran politik, bisa jadi ketulusan seorang pemimpin telah terpatri dalam diri mereka.
*Oleh: Fuhatur Rohman (Penulis Muda Justisia)