Hukum Fiqh atau Hukum Nurani? Tentang Fiqh Sebagai Bentuk Perkembangan Kesadaran Moral

Oleh : Ulil Abshar-Abdalla

Yang merisaukan saya tiada lain tiada bukan kecuali kecenderungan umat Islam untuk selalu bertanya tentang hukum, dan hukum. Di mana-mana kita melihat banyak orang yang menanyakan tentang apa hukumnya makan ini atau itu, memakai ini atau itu, meminum ini atau itu, dan seterusnya. Umat Islam sering risau tentang apa hukum Islam dalam soal musik, menggambar, memakai pakaian jenis tetentu, dan sebagainya.
Di satu pihak, ini menunjukkan gejala yang baik, yaitu umat Islam sadar hukum. Tetapi, soalnya adalah bahwa mereka hanya sadar hukum agama, tidak pada hukum publik. Melihat seringnya umat Islam bertanya tentang hukum segala sesuatu, mestinya ini pertanda bahwa umat Islam adalah “law abiding society”, masyarakat yang taat hukum. Namun, dalam kehidupan nyata, umat Islam banyak yang melanggar hukum publik. Hukum lalu lintas tak ditaati, antri tidak menjadi budaya. Suka main hakim sendiri. Alhasil, penyalahgunaan wewenang terjadi di mana-mana.
Di lain pihak, ini gejala yang buruk. Kenapa status hukum segala tindakan harus ditanyakan satu per satu: minyak ular, jenggot, menggambar, piara anjing, liur anjing, musik, dan lainnya. Ini menandakan, kalau mau memakai sudut pandang filosof besar yang bijak, Immanuel Kant, bahwa umat Islam belum dewasa. Masih menggantungkan diri pada otoritas di luar dirinya dalam menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, otoritas agama via ulama.

Bagi saya, ada sebuah hadis yang sangat “revolusioner” dilihat dari sudut perkembangan moral, yakni hadis pendek yang bunyinya, “istafti qalbaka”, mintalah “fatwa” pada dirimu sendiri, bukan pada MUI atau otoritas-otoritas lain.
Karenanya, menurut saya, kesadaran moral dan hukum yang perlu dikembangkan di kalangan umat Islam adalah sebagai berikut: Pertama, dalam masalah publik, ikutlah hukum yang telah disepakati oleh institusi publik, yaitu parlemen atau pemerintah. Kalau anda tak setuju hukum itu, anda berhak meminta untuk mengubahnya melalui proses “judicial review”.
Kedua, dalam soal pribadi, menyangkut hubungan anda dengan Tuhan, anda tak punya sandaran lain kecuali hati nurani. Tanyalah pada diri sendiri. Hukum yang berlaku di wilayah ini adalah “hukum nurani” yang dasarnya adalah baik dan tidak, maslahat atau bukan buat diri anda sendiri, orang lain, dan kehidupan nanti. “Istafti qalbaka”.
Oleh karenanya, fiqh harus dipilah dalam 3 level, dan kemudian ditilik ulang berdasarkan levelnya masing-masing. Tiga bidang utama fiqh itu adalah; Pertama, bidang publik. Inilah yang sering disebut sebagai fiqh mu’amalah. Menurut saya, semua ketentuan fiqh yang berkaitan dengan hukum publik ini (baik perdata atau pidana) bukanlah ketentuan yang mengikat. Apa yang dikatakan fiqh tentang isu-isu yang tercakup dalam bidang itu hanyalah pendapat ulama sesuai dengan praktek-praktek sosial yang berkembang pada zamannya.
Oleh karena itu, apa yang tertuang dalam fiqh berkaitan dengan hukum jual beli, misalnya, bukankah ketentuan yang berlaku sepanjang zaman. Sekarang, dunia perdagangan sudah berkembang sangat kompleks, dan mempunyai hukum dan kode etiknya sendiri. Fiqh tak bisa turut campur banyak dalam hal ini. Paling-paling, hukum fiqh hanyalah “in put” saja dalam merumusukan hukum modern dalam bidang-bidang itu.
Kedua, bidang privat. Dalam istilah fiqh ini disebut sebagai “al ahwal al syakhsyiyyah”. Dalam bidang ini, ada ketentuan-ketentuan yang bisa dipertahankan, ada yang tidak. Beberapa aturan di sekitar perkawinan masih relevan, tetapi beberapa yang lain sudah tak lagi sesuai, dan karena itu harus diubah.
Ketiga, bidang ritual atau ibadat. Dalam hal ini, hukum-hukum yang ditentukan oleh agama relatif berlaku tetap dan jarang yang bisa diubah. Tetapi, walau demikian, ada beberapa ritual yang harus tetap dipikirkan ulang. Misalnya ritual Kurban. Apakah ritual ini masih layak dipraktekkan dengan cara-cara yang kita kenal selama ini? Ribuan binatang disembelih hanya untuk menunjukkan bahwa umat Islam rela berkorban? Sekarang, sudah berkembang kesadaran modern tentang perlindungan hak-hak binatang. Praktek kurban yang mengambil bentuk penyembelihan hewan-hewan tertentu harus dipikirkan ulang.
Sebetulnya ada bidang lain yang sulit saya kategorikan dalam sistem klasifikasi yang sudah ada dalam fiqh selama ini. Bidang ini adalah bekaitan dengan “kebebasan individu” atau civil liberty. Bidang ini mencakup bukan saja kebebasan-kebebasan yang selama ini kita kenal, seperti kebebasan ekspresi dan berorganisasi, tetapi juga mencakup kebebasan mengaktualisasikan diri.
Ambillah contoh sebagai berikut. Merupakan praktek yang lumrah di mana-mana jika para remaja ingin mengekspresikan diri dengan bebas, lewat model pakaian, potong rambut, hiasan-hiasan, dsb. Menurut saya, sangat berlebihan jika fiqh dibiarkan melakukan intervensi dalam soal-soal ini. Apakah boleh, misalnya, seorang remaja memakai pakaian tank-top atau tidak, memakai jeans ketat atau tidak, memakai rok yang ketat atau tidak, boleh tidak menontot film porno atau tidak, dan seterusnya, tidak bisa semata-mata diatur dengan fiqh.
Sudah tentu, dengan mengatakan ini semua, saya tak hendak menganjurkan kehidupan yang bebas sama sekali tanpa aturan hukum. Dalam penglihatan saya, hukum yang sangat penting ditegakkan adalah hukum publik. Itulah hukum yang menjamin keadilan bagi semua pihak. Dalam kehidupan privat dan perorangan, hukum yang berlaku adalah –ini usulan saya– hukum nurani. Adalah pemandangan yang lucu jika ada seorang Muslim bertanya apa hukumnya seorang remaja putri memakai rok ketat yang memperlihatkan pusarnya?
Buat saya, pertanyaan semacam itu, menandakan bahwa yang bersangkutan belum bisa menilai suatu tindakan berdasarkan nuraninya sendiri. Jawaban yang diberikan oleh seorang ulama atas pertanyaan itu dengan mengatakan “boleh” atau “haram” lebih tidak mendewasakan lagi. Kesadaran moral yang harus dikembangkan di lingkungan umat Islam adalah kesadaran “moral yang otonom”. Setiap Muslim harus didorong memakai “common sense” atau “akal sehat” dan nuraninya secara otonom untuk mengetahui hukum segala sesuatu yang sedang mereka kerjakan.
Hanya dengan kesadaran semacam inilah kita bisa merealisasikan cita-cita moral yang dikehendaki oleh Nabi untuk umat Islam, yaitu “la rahbaniyyata fil Islam”, tiada kependetaan dalam Islam. Hadis ini sebetulnya secara tak langsung merupakan suatu pernyataan bahwa Islam anti lembaga ulama. Sekarang ini, kita melihat praktek yang sungguh berbeda. Meskipun oleh orang Islam sendiri dikatakan bahwa Islam tak mengenal kependetaan, tetapi dalam kenyataannya kita mengenal lembaga ulama yang terus-menerus dimintai fatwa oleh umat tentang hukum segala hal. Buat saya, praktek semacam ini sudah persis dengan praktek kependetaan yang dikritik oleh Islam.
Bagaimana memahami ayat dalam al Qur’an, “Fas’aluu ahladz dzikri in kuntum la ta’lamuun”, tanyalah kepada orang-orang yang ahli jika anda tak tahu? Ayat ini sekilas menandakan bahwa dalam urusan segala hal, maka anda wajib bertanya kepada orang-orang yang tahu, termasuk dalam urusan agama. Dengan demikian, tak ada salahnya bertanya kepada ulama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama, sebagaimana kita harus bertanya kepada seorang pakar IT (information technology) ketika kita ingin mengetahui seluk-beluk komputer.
Buat saya, pemahaman semacam itu tidak tepat. Ada perbedaan antara seseorang yang bertanya tentang virus yang menyerang komputer kepada seorang ahli IT dengan seseorang yang bertanya kepada seorang ulama tentang apa hukumnya seorang muda-mudi memakai baju “tank-top”. Yang pertama, soalnya adalah menyangkut informasi tertentu mengenai bidang keahlian tertentu yang sama sekali di luar wilayah kebebasan pribadi seseorang. Sementara yang kedua adalah bagian dari wilayah kebebasan individual. Dengan kata lain, informasi tentang virus komputer adalah berkaitan dengan fenomena bendawi, sementara soal memakai baju tank-top adalah berkaitan dengan wilayah ekspresi dan aktualisasi diri, berkaitan dengan manusia.
Hadis “la rahbaniyyata fil Islam” sebetulnya merupakan proklamasi Islam bahwa kepakaran dalam bidang agama yang kemudian menjadi landasan bagi tegaknya lembaga yang disebut “clergy” atau keulamaan sebetulnya tak disukai oleh Islam. Sebab, agama, pada dasarnya, bergerak pada wilayah kebebasan manusia. Oleh karena itu, hukum yang berlaku di sana adalah bukan hukum-hukum objektif yang ditetapkan oleh lembaga tertentu, tetapi hukum nurani yang ada dalam diri manusia.
Dengan demikian, bagaimana kita secara tepat memahami peran fiqh saat ini? Fiqh adalah suatu bidang dalam Islam yang mengandung banyak kerancuan konsep, jika dilihat dari sudut pandang kehidupan modern. Marilah kita lihat definisi fiqh sebagaimana kita kenal dalam sejumlah kitab-kitab ushul fiqh. Fiqh, sebagaimana Muhammad Mushthafa Syalabi dalam “Ushul al Fiqh al Islamiy” biasa didefinisikan sebagai, “al ‘ilmu bi al ahkam al syar’iyyah al ‘amaliyyah al muktasab min adillatiha al tafshiliyyah”. Yakni: pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah atau praktis, dan hukum-hukum itu diderivasikan dari dalil-dalil yang bersifat rinci.
Sekarang, mari kita lihat definisi hukum. Hukum adalah “khithabulLahi al muta’alliq bi af’al al mukallafin iqtidla’an aw takhyiran.” Yakni: ujaran Allah yang berkaitan dengan seluruh tindakan orang-orang yang mukallaf (mempunyai tanggung jawab moral), baik yang bersifat tuntutan atau pembiaran.
Dalam pemahaman saya, definisi hukum semacam itu bersifat “totaliter”. Takrif itu mengandung implikasi bahwa semua tindakan manusia yang sudah mempunyai kesadaran moral (mukallaf) diatur semuanya oleh firman Tuhan. Inilah asal mula tradisi yang berkembang di kalangan umat Islam di mana setiap orang ingin mengetahui hukum segala tindakan dan hal. Sebab, dalam gejala semacam itu memang terkandung suatu pengandaian yang tersembunyi, bahwa Allah mempunyai hukum yang jelas dalam segala sesuatu.
Definisi fiqh semacam itu sebetulnya mewakili kesadaran moral pra-modern seperti pernah digambarkan oleh Immanuel Kant, yaitu kesadaran moral yang belum dewasa yang bergantung pada otoritas di luar diri sendiri. Kita perlu mempertimbangkan kembali definisi fiqh yang “totalitarianistik” dan sama sekali mengabaikan kebebasan individu semacam itu. Wallahu a’lam bissawab. [j]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *